15 Desember 2008

RAPBS dan SHPS

Biaya pendidikan anak-anak kita mahal? Jawaban mengiyakan pasti akan diucapkan oleh kebanyakan orangtua siswa. Tapi pernahkah kita mencoba memahami, bahwa kemahalan itu salah-satunya adalah akibat biaya pendidikan harus disesuaikan dengan beberapa komponen standar yang berskala nasional? Langkah ini tidak salah, sebab diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah RI Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Dalam Pasal 62 Ayat (1) disebutkan: Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Menurut Ayat (2): Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Ayat (3) mengatakan: Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendididkan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
Lebih jauh dijelaskan, bahwa yang termasuk biaya personal peserta didik antara lain pakaian, transport, buku pribadi, konsumsi, akomodasi, dan biaya pribadi lainnya. Sedangkan Ayat (4) menjelaskan, bahwa biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:(a)gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji;(b)bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan (c)biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, pajak, dan lain sebagainya.
Dengan berpedoman SNP yang berisi pasal-pasal Standar Pembiayaan di atas, seharusnya para kepala sekolah bersama dengan pemegang peran di sekolah mampu menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) yang tersajikan secara lebih transparan, disusun secara lebih partisipatif, dan dipublikasikan secara terbuka kepada para pemangku kepentingan pendidikan sebagai salah satu bentuk akuntabilitasnya.
Tetapi sepengetahuan penulis, masih jarang ditemukan pimpinan sekolah yang berani melakukan pembahasan RAPBS secara terbuka bersama para orangtua siswa, agar lebih partisipatif dan demokratis. Kebiasaan yang dilaksanakan oleh mereka selama ini adalah mengajukan RAPBS yang sudah final di depan sidang pleno yang dihadiri oleh semua orangtua siswa. Akibatnya, banyak orangtua siswa yang tidak sempat mengkritisinya secara cermat, kecuali para anggota Komite Sekolah.
Musyawarah untuk mencari mufakat secara ini jelas akan mengakibatkan semua keputusan yang akhirnya mendapatkan suara setuju dalam rapat menjadi kurang representatif. Alih-alih, para pihak terkait dapat mempresentasikan RAPBS lebih efektif di depan para orangtua siswa secara klasikal. Sekelompok orangtua siswa yang kompeten dan terpilih secara demokratis mewakili seluruh orangtua siswa di kelas anaknya, akan lebih efektif mengkaji RAPBS, ketimbang semua orangtua dikumpulkan untuk digiring ke arah menyetujui RAPBS tersebut, walaupun mereka telah digupuhi, diaruhi, dan disuguhi.
Namun, penyusunan RAPBS yang transparan, partisipatif, dan akuntabel saja belum cukup. Ke depan, sekolah dituntut untuk mampu menyajikan pula Satuan Harga Per Siswa (SHPS). SHPS adalah suatu nilai yang diperoleh dari menghitung jumlah biaya APBS yang diperlukan sekolah pada satu tahun pelajaran dibagi dengan jumlah semua siswa di sekolah tersebut (Zamroni, 2000:179)
Dengan mengumumkan SHPS kepada publik, maka para pemangku kepentingan pendidikan akan dapat menilai kualitas sekolah tersebut. Misalkan, sekolah X memiliki SHPS = Rp 500.000,- dan SHPS sekolah Y = Rp 700.000,- Bila kualitas sekolah kita lihat dari satu sisi saja, yaitu nilai rata-rata ujian nasional, maka ketika kedua sekolah tersebut memiliki nilai yang sama, dengan cepat kita akan mengatakan sekolah X-lah yang lebih berkualitas, walaupun biaya sekolahnya lebih murah. Sebaliknya, kita akan memilih Y sebagai lebih berkualitas, walaupun mahal, bila saja nilai rata-rata ujian nasionalnya 7,00 sedangkan Y hanya 5,00. Tetapi, analisis ini menjadi salah bila ternyata jumlah siswa di sekolah X hanya 100 siswa, sedangkan di sekolah Y ada 1000 siswa, karena sekolah X-lah yang mahal.
Oleh karena itu, ke depan Pemerintah atau Pemerintah Daerah seharusnya berkenan menetapkan suatu perhitungan SHPS minimal, yang dikaitkan dengan besaran biaya yang harus dikeluarkan oleh sekolah dalam mencapai mutu pendidikan yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (Zamroni, 2000:180) Untuk itu, bila kita membandingkan SHPS suatu sekolah dengan SHPS yang ditetapkan oleh pemerintah/pemerintah daerah tersebut, mahal atau murahnya biaya pendidikan di suatu sekolah yang dipertautkan dengan kualitasnya dapat diukur oleh para orangtua siswa secara lebih rasional, tanpa terbujuk promosi atau iklan. Sekolah yang bersangkutan pun pasti tak berani membohongi publik dengan mengatakan, bahwa biaya sekolahnya murah tapi kualitasnya tinggi.
Akhirnya, jika penetapan dan publikasi SHPS oleh pemerintah/pemerintah daerah dapat terwujud, akan sangat memudahkan para orangtua siswa dalam menentukan pilihan sekolah bagi anaknya. Apabila bukan ini yang diinginkan para orangtua siswa, boleh jadi keterpurukan dunia pendidikan kita masih lebih parah lagi.


Ditulis oleh: Rusmiati Choirul Ummah
guru matematika di SMA Negeri 1 Ponorogo.