27 Juni 2009

Guru Swasta Bertanya, Pertanyaan-pertanyaannya Siapa Yang Menjawab

Pertanyaan-pertanyaan Guru Swasta

Oleh: Eddy Soejanto*)


Ketika Anda berobat kepada seorang dokter, Anda tidak akan pernah mempersoalkan apakah dokter tersebut berstatus PNS atau bukan PNS. Yang terpenting bagi Anda, dokter itu seorang profesional sehingga dengan cepat menyembuhkan penyakit Anda. Anda bersikap tidak mendiskriminasi seorang dokter berdasarkan perbedaan status, PNS atau bukan PNS, tetapi pasti berdasarkan kualitas keprofesionalan yang ditunjukkan dengan hasil pengobatannya.

Anda juga bersikap tidak diskriminatif terhadap seorang akuntan yang menangani masalah keuangan Anda, atau terhadap seorang ahli bangunan yang Anda percaya mendirikan bangunan rumah Anda, dll. Namun, bagaimanakah sikap Anda terhadap seseorang yang berprofesi guru?

Saya, atas nama teman-teman guru swasta, berterimakasih kalau seandainya sikap Anda konsisten sama dengan sikap Anda terhadap dokter, akuntan, atau ahli bangunan, dll. Yaitu tidak melakukan diskriminasi atas profesi guru, baik guru PNS maupun guru swasta, yang terpenting bagaimana kualitas keprofesian mereka.

Namun, bagaimana sikap pemerintah dan kebanyakan orang terhadap guru? Mengapa pemerintah selalu menginginkan mencetak guru profesional ketimbang lebih dulu membuat guru sejahtera? Mengapa orang suka mengejek guru tidak profesional ketimbang memberikan solusi agar guru mencapai kesejahteraan? Dan mengapa sebagian orang bersikap sinis, menganggap guru swasta cengeng, manja, karena mereka lebih suka mendahulukan tuntutan kesejahteraan ketimbang keprofesionalan?

Para atasan guru suka sekali memberikan jawaban dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan guru swasta tersebut dengan kalimat yang sederhana. Yaitu, keprofesionalan identik dengan kesejahteraan. Jadilah profesional, maka kesejahteraan akan datang dengan sendirinya. Tetapi, apakah guru profesional dapat dicapai tanpa kesejahteraan guru? Apakah kesejahteraan guru bukan jaminan bagi keprofesionalan guru? Apakah hanya keprofesionalan guru yang menjadi jaminan bagi mutu pendidikan? Apakah kesejahteraan guru tidak menjadi jaminan terwujudnya mutu pendidikan?

Bukankah guru PNS sejahtera dan oleh karena itu profesional? Tetapi, mengapa semua orang masih saja mempersoalkan terpuruknya mutu pendidikan kita? Jadi, apakah benar keinginan sebagian besar guru swasta agar bisa bersulih status menjadi guru PNS disebabkan oleh alasan agar mereka mampu mewujudkan peningkatan mutu pendidikan?

Sayang, ternyata terlalu banyak guru swasta yang tidak sejahtera dan tidak profesional, bukan? Apakah itu juga berarti terlalu banyak atasan guru swasta yang tidak mempedulikan kesejahteraan dan keprofesionalan bawahannya? Dan apakah ini berarti karena terlalu sedikit jumlah atasan guru swasta yang sejahtera dan profesional? Tetapi, siapa yang akan mempersoalkan mereka, atasan guru swasta, itu? Andakah?

*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan.

09 Juni 2009

Menyoal Pendidikan Nasional Tanpa Guru Swasta, Nggak Bisa Kan?

Oleh: Eddy Soejanto*)

Pendidikan Nasional tanpa menyertakan guru swasta, nggak bisa kan? Tetapi ketika banyak guru swasta mengeluhkan kekurangannya, ketimbang memahami hal itu sebagai suatu keniscayaan, malah tidak sedikit atasan guru swasta menengarainya sebagai sifat cengeng dan cenderung materialistis. Namun, jika ini dipandang menjadi luka yang sulit disembuhkan bagi sekolah dan yayasannya, maka bila hendak segera disembuhkan, para pihak mesti memahami bagian dari problematika keprofesian guru swasta yang memerlukan pemecahan tidak secara seragam, baik terhadap individu maupun kolektif.

Untuk itu, setiap mengambil kebijakan, para atasan guru swasta hendaknya memasilitasi mereka dengan sempurna. Sebab, kualifikasi akademik, kompetensi, dan kebutuhan guru swasta yang sangat beragam, jika diperberat lagi dengan minimalnya dukungan, dorongan, dan fasilitas yang dimiliki, mereka akan menjadi pelambat laju ketercapaian visi dan misi sekolah atau yayasan yang menaunginya. Memang, selalu tidak mudah menghindarkan datangnya kesulitan demi kesulitan yang langsung menghadang guru swasta ketika diharuskan mengikuti irama gerak perubahan yang digulirkan oleh pimpinan sekolah, atau yayasannya. Dan diakui atau tidak, ini terjadi sejak kurikulum seringkali berganti, sampai saatnya KBK berubah wajah menjadi KTSP, kemudian makin berat ketika sekolah lepas landas dari SSN menuju SBI.
Dari pengalaman itu, setiap guru swasta diajak mengeksplorasi pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dalam menerjuni perubahan demi perubahan, amat jarang mereka dipertemukan langsung dengan ahlinya. Kerapkali kebutuhan mereka akan berbagai kompetensi tersebut dicukupi melalui serangkaian kegiatan sosialisasi dari tutor sebaya, yang tidak lain adalah guru swasta rekan kerjanya sehari-hari. Dan diakui oleh para tutor itu, bukan dengan maksud basa-basi, bahwa dibandingkan dengan kebanyakan teman-teman mereka, kompetensi yang mereka peroleh hanya berbeda soal waktu. Mereka merasa punya kelebihan lebih dulu tahu, bukan lebih dulu ahli. Ditambah lagi, dilibatkannya mereka ke dalam ToT terkadang bukan berdasarkan terpenuhinya kriteria keahlian, tetapi diuntungkan oleh posisi atau jabatan strategis yang sedang disandangnya di sekolah atau yayasannya.

Fenomena tersebut diharapkan akan menjadi pembelajaran, selain kepada pihak pimpinan sekolah atau yayasan juga Pemerintah dan Pemerintah Daerah, agar selalu memberikan pertimbangan yang berkeadilan dalam menetapkan kuota guru swasta peserta bimbingan teknis di kegiatan apapun, lebih-lebih bila tutornya ahli dan melibatkan para pakar pendidikan. Demikian pula, mereka dituntut tidak kikir dalam memberikan fasilitas yang memadai bagi terwujudnya guru swasta menjadi pendidik profesional, selaras dengan tuntutan Standar Nasional Pendidikan. Semuanya akan bermuara pada perbaikan dan peningkatan kesejahteraan guru swasta. Sehingga apabila diungkapkan, kesejahteraan guru swasta yang memadai memiliki relevansi sangat signifikan terhadap kualitas profesinya, tidak lantas diejek sebagai materialistis dan cengeng.

Jika akhir-akhir ini tidak henti-hentinya guru swasta diminta segera mengubah realita keterpurukan dan bangkit membuat perubahan, maka kendalanya tetap pada peluang mereka yang kerap termarjinalkan. Untuk itu, guna mencapai kualitas keprofesian guru swasta yang signifikan, kepada mereka perlu diberikan banyak pendidikan dan pelatihan. Namun, dengan pendidikan dan pelatihan yang diterima tersebut, mereka tidak boleh berhenti pada tataran menjadi pandai, tetapi harus sampai pada tataran mampu menunjukkan kinerja profesionalnya, yaitu membimbing siswa dalam belajar. Jadi, kualitas keprofesian yang dijadikan ukuran bukan sekadar pandai atau tidak pandainya guru swasta, tetapi seberapa berhasil guru swasta membimbing siswa dalam belajar, atau seberapa besar peningkatan hasil belajar siswanya.


*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan.

08 Juni 2009

Masih Relevankah Menyoal Status Guru Swasta

Masih Relevankah Menyoal Status Guru Swasta?

Oleh: Eddy Soejanto*)

Apakah Anda berprofesi sebagai guru swasta? Setidak-tidaknya Anda akan bisa merasakan bagaimana perlakuan tidak adil dan dianaktirikan. Tapi benarkah itu terjadi akibat penciptaan banyak kutub antara posisi guru swasta, guru honorer, dan guru PNS? Atau, karena belum seriusnya pemerintah dalam menjaga dan melindungi profesi guru? Atau, karena ketakberdayaan yayasan dalam mengupayakan tingkat kesejahteraan yang memadai tanpa membebani masyarakat dengan cara menaikkan biaya pendidikan?

Doni Koesoema (2008) berpendapat, sebenarnya nasib guru lebih banyak ditentukan dua kekuatan, yaitu kekuatan negara dan kekuatan masyarakat.

Kekuatan negara terhadap guru bersifat memaksa dan mengatur. Ini bisa dibuktikan dengan terbitnya undang-undang, peraturan pemerintah, dan belasan Permendiknas serta ratusan butir rambu-rambu yang dengan congkaknya memperlihatkan, bahwa negara berkepentingan atas dipenuhinya kualifikasi akademik dan kompetensi bagi siapapun yang layak berdiri di ruang-ruang kelas. Berhadapan dengan aturan negara yang memaksa ini, para guru tidak dapat berbuat apa-apa selain tunduk menyesuaikan diri. Sebab, tidak ada pilihan lain lagi agar profesinya sebagai guru tetap berfungsi efektif dalam lembaga pendidikan.

Di sisi lain, kekuatan masyarakat berbentuk tekanan kultural yang menciptakan gambaran sosok seorang guru. Intinya, setiap guru harus memiliki pola perilaku yang oleh masyarakat boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam maupun di luar ruang-ruang kelas. Mulai dari bagaimana seharusnya cara guru bertuturkata, cara berpakaian, memasuki lingkungan pergaulannya dll. Menguak takdir atas kekuatan kehendak masyarakat ini akan menyebabkan individu guru terhempas kandas kehilangan integritas.

Ketika menghadapi kedua kekuatan tersebut, jika guru PNS saja tidak memiliki kekuatan penawaran, apalagi guru swasta. Mereka senantiasa tercegah memiliki alternatif selain bertekuklutut pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan. Berani membuat kasus sekecil apapun, asalkan dinilai melanggar norma sosial dan keluar dari kode etik, maka kepada oknum ini akan dibentuk stigma sebagai guru dengan pribadi yang kehilangan kualitas moral. Karena itu, di satu sisi sanksi sosial baik dari masyarakat maupun negara dapat dipandang sebagai hukuman, tetapi sisi lain juga bersifat memperbaiki. Ini yang mampu menjaga status dan martabat profesi guru agar tetap berharga di mata masyarakat dan negara.

Implikasinya, tidak setiap orang bisa mengklaim dirinya sebagai guru, jika negara dan masyarakat tidak memaklumkan keberadaannya sebagai guru. Hanya saja, situasi sosial, politik, dan ekonomi masih membuat status guru swasta termarjinalkan. Tuntutan pemerintah atas dipenuhinya kualifikasi akademik dan kompetensi tidak sertamerta dibarengi kesediaan pemerintah melindungi profesi guru swasta. Bahkan masih terus terdengar rintihan guru swasta yang penghasilannya terpuruk di bawah upah minimum regional. Para petinggi yayasan pun tidak dapat berbuat banyak karena alasan tak adanya dana.

Dengan demikian, pemerintah memiliki tugas mulia dalam menyejahterakan nasib guru swasta. Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan politik yang kuat. Ketidakmampuan yayasan dalam menyejahterakan guru swasta harus menjadi bagian dari perhatian utama pemerintah menangani pendidikan. Meskipun partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dunia pendidikan patut didukung, tetapi pemerintah wajib menjamin bahwa mereka harus mampu menyelenggarakan sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan, dan mengembangkannya ke arah bertaraf internasional. Jika banyak yayasan pendidikan tidak mampu memenuhi standar nasional pendidikan, maka dampaknya akan merugikan banyak pihak. Sebab, mereka akan sulit menghargai kinerja guru swasta, dan tidak mampu memberi pelayanan pendidikan yang terbaik bagi siswa oleh karena keterbatasan sarana, fasilitas, dan mutu guru swasta.

Untuk itu, pemerintah dan masyarakat harus menjaga, melindungi, dan menghormati profesi guru swasta sebagai prioritas. Secara khusus, pemerintah harus memberi jaminan finansial setara dengan upah minimum regional kepada guru swasta agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat sebagaimana telah dinikmati oleh guru PNS. Jaminan seperti ini hanya bisa muncul jika ada perlindungan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang benar-benar adil dan tidak memihak.

Apakah tidak mungkin kinerja menjadi satu-satunya cara untuk mengukur mutu seorang guru dan menjadi acuan untuk menghargai dan memperbaiki kesejahteraan mereka? Masih relevankah kesejahteraan itu terkait dengan status mereka sebagai guru swasta, guru PNS, atau guru honorer?

Jika harapan ini bisa direalisasikan, maka setiap guru swasta pasti hanya berpikir dan berupaya bagaimana menjaga kualitas dan mengembangkan keprofesiannya secara profesional. Guru swasta, atau guru honorer tidak lagi menginginkan sulih status sebagai pegawai negeri sipil menjadi satu-satunya cara mencapai kesejahteraan.

*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan.

03 Juni 2009

Menyoal Lagi Ihwal Ujian Nasional 2009 Dipicu Pengumuman UN 2009 Kasus Siswa Tidak Lulus 100% di 33 SMA Se-Indonesia

Masih ingatkah Anda, beberapa tahun silam pernah terjadi perdebatan sengit menyoal ujian nasional, antara DPR yang menghendaki dihapuskannya UN melawan pemerintah (Depdiknas) yang mempertahankan UN. Ternyata sampai detik ini kasus itu tidak menjadikannya landasan penjaminan mutu atas peningkatan kualitas pendidikan ke arah pencapaian standar nasional. Karena seperti yang selalu diunjukkan oleh pemerintah, pelaksanaan UN tidak terlepas dari tujuan menstandarisasikan kualitas lulusan yang diharapkan secara signifikan dapat bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan. Di lain pihak, kerisauan berbagai elemen masyarakat terhadap UN diaktualisasikan oleh DPR dalam wujud ketidak-setujuan mereka, apabila peranan nilai-nilai hasil UN adalah sebagai nilai-nilai yang paling menentukan dalam mempertimbangkan hak para siswa untuk lulus atau menamatkan sekolahnya.

Berdasarkan Prosedur Operasi Standar (POS), Pemerintah merencanakan hasil UN 2009 akan diumumkan sekitar pertengahan Juni 2009. Tetapi tanggal 30 Mei 2009 lalu tiba-tiba menyeruak kabar buruk ihwal peserta UN 2009 dari SMAN 2 Ngawi dan SMAN Wungu Madiun, beserta 31 SMA lain di seluruh Indonesia dinyatakan tidak lulus 100%.
Menurut Ketua Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo (http://detiknews.com, Selasa 2/6/2009) ke-33 SMA se-Indonesia yang siswanya 100% tidak lulus UN itu, karena kebocaran soal, sehingga diwajibkan mengikuti ujian ulang. Ujian ulang akan dilakukan pada tanggal 8-12 Juni 2009.

Sementara itu, meskipun telah terungkap bahwa kejadiannya disebabkan oleh kecurangan pihak penyelenggara, bagi para pengamat yang paling menjengkelkan adalah sanksi terhadap 33 SMA tersebut, yang ternyata hanya berupa ujian ulang. Kalau mau sesuai aturan, kenapa BSNP dan pemerintah tidak menetapkan saja pelaksanakan UN 2009 sebanyak dua kali, sebagai implementasi dari Pasal 66 ayat (3) dalam PP 19/2005. Sehingga, siswa dari 33 SMA tersebut tetap dinyatakan tidak lulus, tetapi diberi kesempatan mengikuti UN 2009 yang kedua bersama-sama dengan siswa-siswa lain yang tidak lulus di luar 33 SMA tersebut. Ini pasti akan dirasakan lebih adil bagi banyak pihak, ketimbang mengusulkan ujian Paket C bagi mereka.

Memang bila dinilai sejak awal, tidak sedikit pakar pendidikan yang berpendapat, bahwa penyelenggaraan UN penuh kontroversi. Sebab, di satu sisi pelaksanaan UN melanggar pasal 58 dalam UU No. 20 tentang Sisdiknas. Menurut aturan ini, penilaian peserta didik hanya dilakukan oleh pendidik, sedangkan evaluasi terhadap peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri, yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai BSNP. Tetapi, implementasi undang-undang itu berhasil direkayasa dengan berdasar kepada Pasal 63 ayat (1) dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sehingga penilaian pendidikan berubah menjadi dilakukan oleh tiga elemen, yaitu penilaian hasil belajar oleh pendidik, oleh satuan pendidikan, dan oleh Pemerintah.

Menurut Heri Akhmadi, Wakil Ketua komisi X DPR, kebijakan UN seperti ini jelas mencerminkan sikap pemerintah yang sekadar mau hasil, padahal banyak hal yang masih dipertanyakan terkait dengan UN. Mengapa yang dikejar standar kelulusannya bukan mutu pendidikannya. Sedang HAR Tilaar (2005) pernah secara tegas menolak pendapat pemerintah (Wapres JK), bahwa UN akan dapat memicu peserta didik berusaha lebih keras dan mengenyahkan budaya lembek. Beliau menegaskan ini tidak benar. Sebab, watak lebih terkait soal moral dan nilai-nilai yang dilaksanakan dalam kehidupan, bukan sebatas lulus mata pelajaran yang di-UN-kan. Jadi, UN secara sistematis malah menciptakan penghambat bagi anak didik untuk meneruskan ke jenjang berikutnya, karena keharusan memenuhi nilai UN tertentu yang dipakai sebagai kriteria kelulusan.

Belajar dari kasus 33 SMA tersebut, maka patut direnungkan lagi, apakah dunia pendidikan sudah tidak mampu menyelenggarakan UN yang lebih mencerminkan keluhuran moral dalam menghadapi dan mengatasi permasalahannya? Pasti dibutuhkan waktu lama lagi untuk bisa mewujudkan kembali perilaku jujur dan sewajarnya ketika melaksanakan UN; di mana para siswa memiliki kesiapan mental untuk tidak lulus, dan para orangtua berani menerima kegagalan anaknya, serta ketegaran sekolah untuk terus mengedepankan integritas tinggi, meskipun gagal meluluskan siswanya seratus persen.

Oleh karena itu, bagaimana pun berat dan miringnya masalah-masalah seperti diuraikan di atas, guru-guru harus tetap membawanya dalam arus pembelajaran yang positif. Kita sadar, ada sesuatu yang terlanjur timpang di dunia pendidikan, sesuatu yang senjang; di antara kekhawatiran gagal dengan konsistensi mempertahankan integritas moral selama melaksanaan pembelajaran, menyelenggarakan ujian, dan kegiatan lain yang tak hanya dibatasi oleh ruang-ruang kelas. Namun, selama akar permasalahannya masih bersifat manusiawi, semuanya harus diatasi, diselesaikan, dibereskan, dan atau dipecahkan melalui pemikiran, perenungan, dan pemahaman yang baik.