26 Januari 2010

Gaji Guru PNS 2010 Benar-benar Menjadi Paling Top Dibandingkan PNS Lainnya| Wajar Benar Semua Mengincar Status Guru PNS

Kalau setiap calon guru dan guru swasta tahu isi informasi dalam Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi yang diterbitkan Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, pastilah tak satupun bakal enggan diangkat menjadi PNS.

Sebab, tidak meleset dari berita jauh sebelum ini (baca di sini), ternyata benar penghasilan guru PNS di tahun 2010 bisa lebih tinggi dibandingkan penghasilan yang diterima PNS lainnya. Itu terjadi karena guru PNS mendapatkan tunjangan kependidikan sebagai tambahan pada komponen penghasilannya.

Tunjangan kependidikan untuk guru bergolongan II/a dengan masa kerja 10 tahun ditetapkan senilai Rp 286.000 per bulan. Dan jika ditambahkan dengan komponen penghasilan lainnya, maka penghasilan bersih seorang guru golongan II/a yang belum kawin akan mencapai Rp 2.489.635 per bulan.

Sedangkan penghasilan bersih untuk guru bergolongan tertinggi atau golongan IV/e dengan masa kerja 32 tahun dan belum kawin mencapai Rp 4.631.300 per bulan. Ini lebih tinggi dibandingkan penghasilan bersih PNS bukan guru yang mencapai Rp 4.244.415 per bulan.

Perbedaan itu terjadi karena guru golongan IV/e mendapatkan tunjangan kependidikan senilai Rp 389.000 per bulan.

Hanya saja tunjangan beras seorang guru lebih kecil dibandingkan PNS lain. Guru dengan golongan II/a hingga IV/e menerima tunjangan beras senilai Rp 42.300 per bulan, adapun PNS dengan golongan sama menerima tunjangan beras sebesar Rp 44.415 per bulan.

Ampun pemerintah, jadi wajarlah kalau tuntutan untuk menjadi guru PNS pun menguat. Mengingat kesejahteraan guru PNS yang terus kalian tingkatkan, dan kalianpun bahkan berkomitmen menetapkan gaji guru PNS minimal Rp 2 juta per bulan.

Persoalan menuntut menjadi guru PNS itu dibahas serius oleh Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam rapat kerja gabungan bersama Komisi II, Komisi VIII, dan Komisi X DPR di Jakarta, Senin (25/1/2010). Rapat kerja gabungan yang membahas penyelesaian terhadap pengangkatan tenaga honorer itu juga dihadiri, antara lain, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan, serta Menteri Agama Suryadharma Ali.

Yang perlu diingatkan kepada calon guru dan guru swasta adalah siapakah yang berhak menyandang status sebagai guru honorer seperti yang dimaksudkan oleh Mendiknas tersebut?

Sebab, guru non PNS bisa saja berstatus sebaga guru swasta, guru tidak tetap, guru honorer, dan guru wiyata bhakti.

25 Januari 2010

Was-was Guru Swasta Mengentas Status

Memangnya bisa was-was? Jelas bisa. Sebab, bukan baru kemarin mereka guru-guru swasta itu memiliki nasib yang tak jelas. Padahal dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan tidak ada pasal yang menghendaki mereka perlu menerima kenyataan yang demikian mengenaskan. Implementasinya saja yang tak jarang dicurangi.

Jadi kalau mereka berunjukrasa, mogok mengajar, atau mogok makan guna mengekspresikan kekesalan mereka atas perilaku tidak adil yang dialami, maka wajarlah. Bahkan kalau mau efektif mereka seharusnya bisa mengupayakan sehari mogok mengajar secara nasional.

Tentunya setelah itu diharapkan meningkatkan perhatian pemerintah dan semua pemangku kepentingan akan tujuan gerakan mereka. Sehingga aksi-aksi mereka dipahami sebagai representasi tuntutan dari sebuah organisasi profesi, bukan sekedar gerakan dari beberapa kelompok guru swasta yang berani mengatas-namakan semuanya.

Untuk itu, diperlukan kesepakatan ulang terhadap prioritas perjuangan mereka. Apakah hanya menuntut alih status, dari non PNS menjadi PNS, seperti selama ini? Atau sesuatu yang lain, yang ke depan lebih memungkinkan direalisasikan oleh pemrintah.

Misalnya, apakah tidak sebaiknya memperjuangkan juga perubahan kuota peserta sertifikasi guru dalam jabatan, agar tidak selamanya guru swasta kejatah 25% melalui jalur penilaian portofolio. Atau, bagaimana agar peserta yang melalui jalur pendidikan, kuotanya tidak 100% untuk guru PNS. Atau, mengusahakan guru swasta berpeluang juga menjadi guru di sekolah Indonesia luar negeri yang selama ini rekrutmennya juga hanya menyentuh guru-guru PNS. Dan masih berderet-deret lagi persoalan diskriminasi yang bisa dijadikan agenda perjuangan guru swasta.

Oleh karena itu, sangat diniscayakan perjuangan mereka tidak selalu sebagai upaya mendesak pemerintah agar menerbitkan PP yang mengakomodir guru non PNS bersulih status sehingga dientaskan semua menjadi PNS, tetapi terutama juga peraturan perundang-undangan lainnya yang dirasakan terlalu menganak-emaskan guru PNS.

20 Januari 2010

Ujian Nasional: Ihwal Hasil dan Akuntabilitasnya

Ujian Nasional: Ihwal Hasil dan Akuntabilitasnya

Oleh: Eddy Soejanto*)

Hari demi hari ke depan ini, bagi para guru kelas terakhir bagaikan mempersiapkan babak final sebuah pertandingan antara para siswa dengan musuh tangguh senilai rata-rata 5,50 yang dapat menyebabkan mereka lulus atau gagal menempuh UN.

Fenomena itu memang bisa membuat gentar jiwa guru-guru, mengingat akuntabilitas mereka dipertaruhkan dalam mengalahkan nilai rata-rata 5,50. Sebab, hasilnya akan dikaji dan kalau dinyatakan gagal akan segera diadili oleh masyarakat pemangku kepentingan pendidikan.

Apabila diasumsikan besarnya jumlah pendaftar siswa baru signifikan dengan besarnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah, maka kegagalan siswa lulus UN di suatu sekolah akan menyebabkan berkurangnya jumlah pendaftar siswa baru. Namun, apakah demikian itu cara yang tepat mengukur akuntabilitas guru pngampu mata pelajaran ujian nasional di kelas terakhir?

Harus diingat, bahwa mutu keluaran pendidikan suatu sekolah, baik di bidang akademik maupun non-akademik, harus merupakan hasil kinerja kolektif warga sekolah, bukan hasil dari aksi-aksi individual guru matapelajaran UN di kelas terakhir.

Karena itu, selama budaya kerja sama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, sudah merupakan kebiasaan hidup sehari-hari bagi warga sekolah, maka tidak ada yang perlu dicemaskan ihwal keberhasilan atau kegagalannya.

Tetapi bila hal-hal tersebut tidak dapat berlangsung, tentu saja beban berat harus disandang sendiri oleh guru mata pelajaran UN, jika ada kegagalan. Sebaliknya, kebanggaan pasti akan membesar di kepala, jika keberhasilan yang didapat. Semuanya benar-benar menjadi tanggung-jawab guru seorang diri. Sayangnya, bukan yang begini yang diinginkan!

Di sisi lain, keberhasilan atau kegagalan suatu sekolah di bidang akademik, wajar bila secara transparan diaktualisasikan sebagai akuntabilitas sekolah kepada para pemangku kepentingan. Informasinya akan lebih banyak disorot oleh masyarakat ketika mereka meneropong pengumuman hasil lulusan. Tentunya yang benar-benar diharapkan adalah hasil kelulusan seratus persen. Baru setelah itu, syahwat keingin-tahuan mereka disalurkan guna mengakses nilai hasil ujian nasional (HUN) yang diperoleh para lulusan.

Berbeda dengan para siswa SMP/MTs, HUN tidak begitu menentukan nasib para siswa lulusan SMA/MA atau SMK. Yang teramat penting bagi mereka adalah status kelulusannya, bukan besarnya HUN yang diperoleh. Terutama bagi lulusan SMA/MA atau SMK yang ingin kuliah di perguruan tinggi.

Kenyataannya memang hampir semua perguruan tinggi (PT) tidak menyeleksi calon mahasiswa baru berdasarkan HUN tersebut. Bagi para guru, perlakuan PT terhadap HUN ini dirasakan sangat menyakitkan. Karena bagaimana pun upaya keras para guru membimbing para siswanya agar tangkas melompati ketinggian nilai rata-rata minimal 5,50 sebagai persyaratan untuk lulus, sama sekali tidak mendapatkan penghargaan yang memadai dari kalangan PT.

Menurut Jahja Umar, Ph.D (Alternatif Kebijakan Ujian Akhir Persekolahan, dalam Jurnal Gentengkali, volume 3, tahun 2001, hal. 22) penyelenggaraan UN sudah memenuhi fungsi utamanya, meliputi: quality control, motivator, public accountability, selection, screening, streaming, diagnostic tool, feed-back to the system.

Dari hasil analisis statistik yang diperoleh, tentunya pemerintah telah menjadikannya sebagai sarana mengevaluasi sistem maupun kebijakan yang telah diambil, serta mengidentifikasi variabel-variabel yang menentukan keberhasilan dalam menyelenggarakan UN.

Berangkat dari pendapat tersebut, penolakan PT terhadap HUN SMA/MA atau SMK sebagai syarat menjadi mahasiswa baru, perlu dipertanyakan. Karena orangtua siswa sebagai pemangku kepentingan pendidikan punya hak diberitahu alasannya. Apakah penolakan tersebut disebabkan pihak PT menilai bahwa HUN dinyatakan tidak valid dan tidak reliabel? Jika jawabnya ya, lalu untuk apa diselenggarakan UN?

Sampai saat ini, ruang publik yang bisa dimanfaatkan barulah berisi informasi hasil-hasil HUN di tiap-tiap sekolah. Sedangkan hasil analisis instrumen tes-nya sendiri hanya dipublikasikan terbatas di kalangan birokrasi pendidikan, sembari mengesampingkan para praktisi dan pemerhati untuk mendapatkan informasi yang seimbang.

Ampun pemerintah, kapan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan kewenangannya yang begitu luas, dapat membuat HUN SMA/MA atau SMK tidak hanya difungsikan sebagai syarat kelulusan.

*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan.

18 Januari 2010

Ujian Nasional: Beraninya Menyoal Bukan Menghadapi

Ujian Nasional: Beraninya Menyoal Bukan Menghadapi

Oleh: Eddy Soejanto*)

Meskipun sudah sedemikian jauh, dan semakin dekat dengan hari H, ternyata masih belum reda juga pertikaian pendapat antara masyarakat melawan pemerintah (Depdiknas) menyoal ujian nasional (UN). Ini cukup merisaukan. Terlebih lagi, bagi siapapun yang keluar sebagai pemenang dalam pertikaian itu, belum pasti mampu menjamin selekasnya membawa UN ke arah peningkatan kualitas pendidikan dengan tercapainya seluruh standar nasional.

Ampun pemerintah, kalian selalu mengatakan bahwa pelaksanaan UN tidak terlepas dari tujuan menstandarisasikan kualitas lulusan yang diharapkan secara signifikan dapat bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan.

Di lain pihak, kerisauan berbagai elemen masyarakat mengaktualisasikan wujud ketidak-setujuan mereka dengan menggelar berbagai unjukrasa. Sebab, menurut mereka peranan nilai-nilai hasil UN sebagai nilai-nilai yang paling menentukan dalam mempertimbangkan hak para siswa untuk lulus atau menamatkan sekolahnya, telah melanggar pasal 58 dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas.

Simak saja pendapat para pakar pendidikan kita. Kebijakan ujian nasional mencerminkan sikap pemerintah yang sekadar mau hasil, padahal banyak hal yang masih dipertanyakan terkait dengan ujian nasional (Winarno Surakhmad).

Atau dari HAR Tilaar yang menolak pernyataan pemerintah, bahwa ujian nasional akan memicu peserta didik berusaha lebih keras dan mengenyahkan budaya lembek. Beliau menegaskan bahwa watak lebih terkait soal moral dan nilai-nilai yang dilaksanakan dalam kehidupan, bukan sebatas mengetahui mata pelajaran yang di-UN-kan.

Ujian nasional secara sistematis menciptakan penghambat bagi anak didik untuk meneruskan ke jenjang berikutnya hanya karena keharusan memenuhi nilai ujian nasional tertentu yang dipakai sebagai acuan kelulusan.

Terlepas dari hasil akhir yang akan dicapai oleh persoalan di atas, yang jelas hari-hari ke depan adalah hari-hari tersibuk bagi para guru di kelas terakhir. Mereka pasti berupaya keras untuk memicu semangat belajar dan memacu peningkatan kemampuan siswanya agar pada saatnya nanti dengan mudah melewati nilai minimal UN, ketimbang menggunakan metode pembelajaran lain yang lebih menjamin akan kemampuan siswa menanamkan pengetahuan, pemahaman dan penerapan ilmu secara awet.

Lagi-lagi guru dipaksa untuk lebih banyak menggunakan metode drill. Karena solusi inilah yang paling favorit sejak ujian nasional masih bernama ebtanas. Para guru hanya dituntut memberikan cara penyelesaian atau cara menjawab sebanyak mungkin soal pilihan ganda yang pernah diujikan pada ujian nasional di tahun-tahun sebelumnya, tanpa perlu berpayah-payah menyampaikan pendalaman materinya. Kemudian menjelang ujian nasional diadakan uji coba terakhir yang sekaligus sebagai prediksi dari soal-soal UN yang bakal keluar.

Sudah sejak lama kita pahami, bahwa kegiatan tersebut merupakan ciri khas lembaga-lembaga bimbingan belajar (bimbel) dan sudah selayaknya berlangsung di sana, karena memang tujuan para siswa memasukinya bukan demi mendalami pelajaran sekolah.

Mereka selalu tergiur oleh promosi bimbel dengan banyaknya peserta yang diterima di perguruan tinggi, sambil menonjolkan kehandalan para tutornya yang katanya memiliki kepakaran dalam membuat trik-trik sampai jurus-jurus gambling, yang konon dapat digunakan untuk mengerjakan soal-soal sesulit apapun secara cepat dan tepat jawabannya dan yang seperti ini mereka anggap tak dipunyai oleh para guru di sekolahnya.

Tetapi bila sekolah juga ikut-ikutan menerapkan kegiatan seperti yang biasa dilakukan oleh bimbel tersebut, hendaknya perlu dipertimbangkan benar-benar oleh pihak sekolah, untuk tidak terjebak pada pemasangan tarip seharga beaya mengikuti bimbel di luar sekolah.

Jika gambaran kondisi sekolah yang demikian itu ternyata memang ada, agaknya tak patut langsung divonis salah. Karena setiap pemerintah memasang passing grade seberapapun besarnya, bagi para guru kelas terakhir tak pernah muncul perasaan gentar, bahkan senantiasa tertantang untuk melampauinya.

Hanya saja cara-cara yang ditempuhnya memang beragam, dengan mengkomersialkan pendidikannya atau menjunjung tinggi kejujuran maupun tidak. Barangkali saat sekarang yang terpikirkan hanyalah bagaimana agar tujuan sekolah tercapai, yaitu sekolah tidak akan dipermalukan dengan banyaknya siswa yang tidak lulus sekaligus dapat memenuhi harapan orang tuanya.

Ini memang kita sadari sebagai pembelajaran yang kurang pada tempatnya bagi dunia pendidikan. Sehingga merelakan sebegitu besar ongkos kemerosotan moral yang harus diberikan bagi memenangkan pertandingan melawan UN.

Tidak adakah keberanian menghadapi UN yang lebih mencerminkan keluhuran moral dalam mengatasi permasalahannya, sehingga berdampak positip bagi dunia pendidikan?

Jawabannya terpulang kepada isi jawaban semua pihak atas pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Kepada siswa, siapkah mental mereka apabila tidak lulus? Kepada para orang tua siswa, akan relakah mereka melihat kegagalan anaknya?

Kepada pihak sekolah, siapkah sekolah menanggung resiko tak mendapat murid baru, karena para calon murid baru takut mendaftar dengan mengetahui banyaknya siswa yang tak lulus? Kepada masyarakat, sejauh manakah mereka dapat melakukan penilaian terhadap integritas suatu sekolah?

Manakah yang bakal menjadi pilihan mereka, sekolah yang menghalalkan segala cara dan menghasilkan banyak lulusan atau sekolah yang berupaya dengan integritas tinggi tetapi berakibat fatal dengan banyaknya siswa yang tak lulus?

Agaknya masih akan lama terwujudnya paradigma baru, dimana kesiapan mental para siswa untuk tidak lulus dan kerelaan para orang tua terhadap kegagalan anaknya serta ketegaran sekolah yang gagal meluluskan siswanya seratus persen, dapat menjadi faktor yang mudah dikesampingkan dalam memperbaiki dunia pendidikan.

*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan.

13 Januari 2010

Kok Mogok, 'Ngajar 'Napa?

Kok Mogok, ’Ngajar ’Napa?

Oleh: Eddy Soejanto*)

Sejak KBK hingga KTSP, dari perspektif pengetahuan dan pemahaman konsep, rendahnya kualitas pendidikan terkadang cukup ditengarai dengan rendahnya pencapaian kriteria ketuntasan minimal oleh siswa.

Ini dibuktikan dengan betapa terpontang-pantingnya guru-guru mata pelajaran UN 2010, sampai-sampai membuat nuansa di sekolah tak ubahnya bimbingan belajar. Merekapun merasa wajib minta tambah jam tatap muka, dengan mengikhlaskan waktu istirahat siang dan sore hari, bertahan tetap berada di sekolah mengisi kegiatan seputar nge-drill soal-soal UN. Tentunya dengan imbalan yang memadai atau tidak, itu masalah lain.

Inilah barangkali, kenapa rendahnya kualitas pendidikan kerapkali ditudingkan ke arah guru sebagai biangnya, meskipun tidak tepat. Sebab, kualitas kinerja guru berkaitan erat dengan pelbagai kondisi guru, puncak kerucutnya ada di status guru profesional yang mampu menjalankan proses pembelajaran i2m3.

Tapi guru bisa mengatasi masalah itu, asal Pemerintah dan Pemerintah Daerah terlebih dulu mengatasi kesenjangan kesejahteraan guru dengan profesi lainnya, atau sesama guru (antara PNS dan non PNS) melalui upaya merealisasikan peningkatan penghasilan guru secara memadai sehingga tetap berada di atas batas kebutuhan hidup minimum.

Sampai saat ini, upaya-upaya itu masih berkutat di penerbitan peraturan perundang-undangan, yang semuanya baru sempurna bila jelas-jelas mengarahkan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyejahterakan kehidupan guru. Namun semua guru tahu hal itu tidak serta merta mengubah nasib mereka menjadi lebih baik.

Namun, bagi guru non PNS malah samasekali tidak jelas apa yang mesti diharapkan dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang lebih condong mengatur nasib guru-guru PNS tersebut. Sehingga janji peningkatan kesejahteraan melalui proses sertifikasi guru, misalnya, belum membuat mereka langsung kelabakan untuk makin termotivasi dan berambisi mempersiapkan diri menjadi semakin mendekati status guru profesional.

Ampun pemerintah, apapun yang kalian lakukan nyatanya mereka kok mogok, ’ngajar ’napa? Mereka yang mengajar rajin saja belum tentu bisa membuat pintar muridnya.


Apakah inti persoalannya benar-benar hanya terletak pada besaran insentif yang mereka terima setiap bulan dari pemerintah daerah, minta Rp150 ribu agar dinaikkan menjadi Rp 250 ribu, yang menyebabkan guru swasta di Tegal itu mogok mengajar?

*)Eddy Soejanto, pengamat pendidikan.

11 Januari 2010

Patung-patung Pahlawan Kecil dan Besar, di Pojok-pojok Ponorogo

Dengan digunakannya kata pahlawan kecil dan pahlawan besar yang menjadi bagian dalam kalimat sebagai judul postingan ini, saya tidak bermaksud membandingkan jasa-jasa mereka yang dipatungkan dll, tetapi benar-benar hanya sekedar ingin menunjukkan ukurannya.

Saya yakin, sedikit sekali generasi muda yang tahu, bahwa di tanah bekas terminal Ponorogo pada sekitar tahun 50-an, 60-an, ada sebuah patung pahlawan pejuang kemerdekaan, dan relief kecil yang menghiasi landasannya.


Sekarang, meskipun lahan itu telah berubah menjadi pusat bisnis, keuangan, dan jasa, maka sangat mengenaskan nasib patung itu. Dia malah tidak begitu dihiraukan, baik perawatannya maupun keindahannya. Justru papan-papan nama pelaku jasa dan bisnis itu yang mengelilinginya denga strategis.


Dengan melihat gambar-gambar yang saya sajikan itu, terkesan sekali bahwa patung kecil di Ngepos itu sekarang sangat dimarjinalkan. Kenapa nggak digusur sekalian? Toh, perlu kajian lagi lebih dalam sejauh mana dia akan bermakna dalam sebuah wisata sejarah?


Ampun pemerintah kabupaten, kalian yang mesti membuat kajiannya, bukan?

Memang patung ini ukurannya besar, sehingga sekelilingnya bisa dibuatkan taman yang sampai sekarang tetap menjadi pusat kegiatan warga masyarakat, terutama pagi hari di hari-hari libur. Di luar itu, keadaan sebagaimana saat pengambilan gambar-gambar ini.


Lingkungan di sekitar patung ini cukup terawat dengan baik, walaupun terkadang kebersihan kurang dijaga oleh para pengunjungnya. Tetapi, umumnya kedatangan mereka dengan niat mengunjungi tamannya, bukan pengin menikmati kebesaran patungnya. Nah.


Ampun pemerintah kabupaten, kalian mesti membuat kajiannya, mengapa bisa demikian, bukan?

03 Januari 2010

Kecelakaan-kecelakaan di Lintasan Sejarah Guru Swasta (Kecelakaan Pertama)

Guru swasta, guru non-PNS di sekolah swasta, tidak pernah membayangkan masa kini yang sulit, apalagi itu disebabkan oleh perlakuan secara diskriminatif, atau di-PHK secara sepihak.

Mereka senantiasa berusaha keras, karena mendambakan masa depan yang relatif jelas dan menjanjikan kehidupan yang sepadan dengan pengabdiannya. Paradigma ini, menurut siapa pun, tidak ada yang akan menyalahkannya.

Namun, terjadilah kecelakaan sejarah itu. Fatal lagi! Baru setapak langkah guru swasta memperjuangkan penghapusan dikotomi dan diskriminasi, sekonyong-konyong diledakkan dan dibuyarkanlah impian mereka, dengan terbitnya PP 48/2005.

Terlepas dari bagaimana rumitnya kehadiran PP 48/2005 itu, tetap saja ini menjadi sebuah pembuktian dari olah ketrampilan intervensi para guru non PNS di sekolah negeri menaklukkan para petinggi pemerintah. Mereka lakukan itu tanpa menyuarakan ancaman mogok mengajar atau berunjukrasa besar-besaran, tetapi mampu mengubah kebijakan pemerintah.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan tentang rekrutmen CPNS yang sudah bertahun-tahun menjadi acuan (PP 11/2002), ternyata dapat dipecundangi hanya oleh sebuah PP, yaitu PP 48/2005 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS.

Sangat disayangkan, pada saat itu berlangsung, sebagian besar guru swasta bersikap kurang peduli, karena gelapnya informasi yang mereka peroleh. Seakan jaman kegelapan menyelimuti mereka, meskipun di luar telah berhembus santer angin perubahan dalam dunia pendidikan.

Inilah yang membelenggu mereka, membutakan visi dan kemampuan mereka untuk melihat ke depan. Mereka tertinggal, karena terlambat mengantisipasi perubahan yang tengah terjadi.

Kalau ini disebut sebuah kesalahan, maka kesalahan tersebut tidak seratus persen ditimpakan kepada para guru swasta. Sedikit-banyak andil kesalahan itu ada juga di pundak kepala sekolah atau pengurus yayasan.

Andai saja mereka memberdayakan guru swasta, sama dengan yang dilakukan oleh para widyaiswara LPMP kepada para guru bantu, bisa jadi PP 48/2005 tidak akan pernah diterbitkan dengan substansi yang menurut guru swasta sangat diskriminatif. Inilah kecelakaan pertama.

Ampun pemerintah, luka akibat kecelakaan pertama ini, sungguh sulit disembuhkan.