29 Desember 2009

Biar Sampai Luber Jangan Persukar Bila Guru Menimba Ilmu



Sebut saja, apakah itu seminar, lokakarya, diklat, dan sejenisnya yang diselenggarakan di luar sekolah, maka kepesertaan guru-guru menjadi sebuah keniscayaan. Jangankan gratis, berbayar pun mereka kadang setengah berlomba mencari peluang lebih dulu mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut.

Meskipun motivasi mereka berlainan, semuanya tentu dimaksudkan untuk mendukung tercapainya impian mereka. Mungkin masih banyak yang hanya menginginkan lengkapnya koleksi sertifikat dalam sejumlah dokumen portofolio, atau demi alasan yang lain.

Tetapi bagi mereka yang sadar, hal tersebut bukanlah sesuatu yang paling penting. Sebab, pengetahuan yang diperoleh dengan cara demikian itu, seberapa pun banyaknya, baru akan tampak manfaatnya setelah mereka implementasikan di depan siswa dalam ruang-ruang kelas. Tidak cukup hanya dengan mempertontonkan koleksi sertifikat mereka agar dinilai oleh para asesor.

Sayang, masih saja terjadi ketimpangan dalam hal meraih peluang kepesertaan dalam seminar, lokakarya, diklat, dan sejenisnya tersebut. Di tiap sekolah selalu ada guru yang tidak memperoleh kesempatan, karena mereka dilarang meninggalkan jam-jam mengajar. Di sisi lain, rekan-rekan sejawat mereka ada yang dibiarkan gemar mengikuti seminar, atau diizinkan menghabiskan waktu sampai ratusan jam bermukim dalam satu diklat ke diklat lainnya.

Fenomena itu menyebabkan beberapa guru menjadi sangat menonjol kemampuan dan pengetahuannya, walau belum pasti karena mereka lebih pandai, tapi lebih dikarenakan mereka mendapatkan kesempatan duluan menimba ilmu. Namun jeleknya, atasan seringkali meremehkan mereka yang tertinggal, yang pengetahuan dan kemampuannya diperoleh lebih kemudian itu, dan dengan enteng mereka diasumsikan lebih bodoh.

Bahkan yang paling menjengkelkan lagi adalah apabila guru-guru yang sedang berada dalam posisi tertinggal tersebut disupervisi oleh para pengawas pendidikan. Guru-guru diminta selalu melakukan implementasi pengetahuan dan kemampuannya dengan benar, sedangkan mereka enak-enak menguasai teorinya dan berani mencela setiap kekurangan guru-guru itu dalam memraktikkan.

Ampun pemerintah, jika demikian ini kejadiannya, bukankah ini hanya masalah posisi, bukan isi otak?

23 Desember 2009

Di 2010 Ada POS UN Pengobat Cemas Siswa Gagal Lulus

Pada nggak tahu sih, betapa betenya sebagian besar teman-temanku guru dan kepala sekolahnya akhir-akhir ini, ketika mereka dipaksa memikirkan Ujian Nasional, si UN itu. Singkatan UN ini resmi, mengacu pada Lampiran A.9 di Permendiknas Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Mula-mula mereka mempertanyakan diadakan atau tidak diadakannya UN, yang ternyata jawabannya tegas, UN pasti diadakan. Akibatnya mereka semua dipaksa kelabakan sehingga sibuk kelayaban di internet berburu POS (Prosedur Operasi Standar) UN, karena tanpa memegang ini sebagai implementasi Pemendiknasnya, mereka akan benar-benar blank. Percayalah, budaya menunggu petunjuk dari atasan itu tetap kental di dunia pendidikan. Entah itu petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan.

Apa sih hebatnya POS UN 2010? Tidak ada, kalau yang dimaksudkan adalah berjenis-jenis UN, seperti UN Utama, UN Susulan, dan UN Ulang.

Tapi ada yang menarik memang, yaitu UN tahun 2010 ini dapat diikuti oleh mereka yang dinyakan tidak lulus pada UN tahun 2008 atau UN tahun 2009.

Ini jadi mengingatkan saya, ketika BSNP mengadakan UN ulang bagi beberapa SMA di Jatim yang siswanya tidak lulus 100 persen. Waktu itu, keputusan BSNP dinilai tidak adil dan tidak mendidik. Kebijakan itu melukai dan membuat dendam hati para pelajar yang tidak lulus di sekolah lain.

Oleh Kuswiyanto, seorang anggota Komisi E DPRD Jawa Timur ditambahkan, bahwa keputusan BSNP itu dinilai menunjukkan arogansi BSNP dan tindakan diskriminasi dalam dunia pendidikan. Pasalnya, di tahun 2009 itu tidak ada kebijakan yang juga memberikan kesempatan UN ulang untuk pelajar di sekolah-sekolah lain yang dinyatakan tidak lulus UN.

Ampun pemerintah, apakah karena kritikan pedas itu, maka di POS UN 2010 ditambahkan aturan baru guna mengantisipasi kalau-kalau kejadian serupa terulang kembali? Atau, apakah sebagai penebus dosa masa lalu, maka kalian kemudian memberikan tambahan aturan berikut ini:

@Peserta yang tidak lulus UN pada tahun pelajaran 2007/2008, dan/atau 2008/2009 yang akan mengikuti UN tahun pelajaran 2009/2010: a. harus mendaftar pada sekolah/madrasah asal atau sekolah/madrasah penyelenggara UN;b. menempuh seluruh mata pelajaran yang diujikan atau hanya mata pelajaran yang nilainya belum memenuhi syarat kelulusan sesuai dengan Permendiknas Nomor 75 Tahun 2009. Nilai yang digunakan adalah nilai tertinggi dari hasil ujian.

Dan @Persyaratan Peserta Ujian Nasional Ulangan: Peserta UN yang tidak lulus UN utama termasuk susulannya pada tahun pelajaran 2009/2010 dapat mengikuti UN ulangan pada seluruh atau sebagian mata pelajaran dengan nilai di bawah 5,50 yang dipilih. Nilai yang digunakan adalah nilai tertinggi.

Aturan yang ditambahkan itu bagi saya memiliki makna, bahwa siswa peserta UN tidak perlu cemas bila dinyatakan tidak lulus. Mereka dijamin bisa mengikuti ujian ulang, dan itupun hanya untuk mata pelajaran yang nilainya tidak mencapai ketentuan. Kalau ternyata masih ada siswa yang tidak lulus juga, kalian mau dunk tahun depan ikut UN lagi. Toh gratis, semua biaya UN senantiasa ditanggung pemerintah.

20 Desember 2009

Sampaikan Pesan Guru Bawahan Ini Kepada Atasannya, Kalau Berani

Baiklah, Pak Zamroni, benar-benar susah membantah pendapat Anda yang mengatakan, bahwa dalam mendorong terciptanya kemajuan bangsa Indonesia, ada dua kebenaran yang fundamental.

Pertama, keberhasilan menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik daripada sebelumnya. Kedua keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru profesional yang memiliki kekuatan dan tanggungjawab baru untuk merencanakan sekolah masa depan.

Namun, pada proses peningkatan kualitas guru itu, implementasinya harus selalu terkait dengan proses memberdayakan atasan guru. Bila tidak, atasan guru akan kehilangan fokus pada perilaku bawahannya. Yaitu, komitmen, kebersamaan, dan loyalitas. Kolaborasi, kata Pak Agus Sampurno.

Memang, tidak jarang seorang atasan guru (kepala sekolah) dikecewakan oleh para guru bawahannya, disebabkan oleh kualitas kinerja mereka tidak meningkat secara signifikan, meskipun mereka telah menyelesaikan serangkaian program pelatihan dan pendidikan.

Berbagai kajian berhasil menunjukkan, bahwa hal tersebut disebabkan oleh komitmen guru yang tidak berubah. Padahal komitmen kerja itulah yang akan mengaktualisasikan seluruh kompetensi guru menjadi kinerja.

Lunturnya komitmen guru bawahan itu bisa jadi juga disebabkan mereka merasa belum mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti, dipercaya atasan, mendapat penghargaan dari hasil kerja, merasa mendapatkan keadilan, dan mendapatkan tantangan untuk menunjukkan kemampuannya.

Atau, dengan berbagai alasan yang masuk akal maupun tidak, atasan guru malah sering meminta banyak pengorbanan dari pihak guru bawahannya. Atasan guru berusaha mengurangi, bahkan menghapuskan insentif yang sudah biasa diterima bawahannya. Entah itu berupa uang transpor untuk rapat-rapat, upacara-upacara, dll. Ketidak-seimbangan inilah yang akan menghambat pengembangan sekolah, jika tidak ada solusi yang bisa dipahami oleh atasan guru.

Ampun kepala sekolah, makanya Anda jangan terlalu membanggakan diri telah berhasil meningkatkan diri, dengan lulus S2, S3, atau sertifikasi mendahului guru-guru bawahan Anda. Sebab komitmen, kebersamaan, dan loyalitas tidak berasal dari bagaimana cara Anda menjadi pimpinan, tetapi selalu tumbuh dari bagimana cara Anda memimpin.

08 Desember 2009

Guru Swasta Mana Bisa Sangat Berharap pada Sertifikasi Guru 2010

Ada banyak birokrat kantoran dalam dunia pendidikan mengatakan bagaikan seorang hakim yang berhak memutuskan, bahwa Guru Swasta tidak penting, hingga bertahun-tahun membiarkan mereka dimarjinalkan, sampai lebih-kurang 2 tahun menjelang kiamat (?!) sekarang ini.

Tipe pejabat ini tergolong manusia sombong dan menganggap Guru Non Swastalah yang paling berkualitas. Guru Swasta itu tidak penting, dianggap semuanya penuh dengan kekurangan, dan tidak profesional.

Saya kutip dari beberapa pakar, kalau ingin menghakimi orang lain, diri sendiri harus cerdas secara subjektif. Tapi kecerdasan subjektif terbatas, untuk itu ia harus bisa terbuka, toleran, mau mendengar kebenaran-kebenaran yang lain.

Hakim yang bodoh adalah hakim yang berkaca mata kuda yang hanya melihat satu arah dan tidak mau melihat dan mendengar arah kiri, kanan, dan belakang. Sejarah membuktikan, penghakiman seperti ini telah menghukum mati ilmuwan-ilmuwan potensial seperti Socrates, Galileo, Bruno, dan ribuan lainnya.

Dunia pendidikan kita, dirugikan dengan dihakiminya guru-guru swasta itu, meskipun mereka memang tidak dihukum mati, tapi tidak diberdayakan optimal, karena senantiasa dimarjinalkan.

Para penguasa dunia pendidikan, birokrat kantoran, tidak peka rasa keadilannya. Kepada Guru Swasta tidak diberi kesempatan sama dengan Guru Non Swasta. Ini berjalan bertahun-tahun. Coba hitung, berapa minimnya Guru Swasta yang berkesempatan dikirim ke ToT, diklat-diklat, baik tingkat nasional maupun internasional dibandingkan dengan Guru Non Swasta. Jadi, wajar kalau mereka kalah unggul ihwal SDM.

Di sisi lain, dunia pendidikan kita seringkali tidak mau menghargai potensi Guru Swasta, padahal yang pintar juga tidak sedikit. Tetapi kepintaran dan kehebatan mereka tidak memperoleh harga dan penghargaan yang memadai. Karena, negara dan masyarakat terbelenggu dalam struktur berpikir yang tidak menghargai apa yang bukan berasal dari pemerintah.

Apakah sertifikasi guru dalam jabatan akan mengakhiri fenomena ini?

Ampun pemerintah, lihat saja cara kalian menentukan jumlah peserta sertifikasi guru dalam jabatan. Apakah alasannya kepesertaan Guru Swasta didiskriminasi? Tahun 2006 kosong, tahun 2007, 2008, dan 2009 jatah mereka maksimal hanya 25%.

Kenapa pada tahun 2010 tidak mungkin diubah menjadi 75% untuk guru swasta? Kalau ingin tahu sebabnya, tolong dibaca lagi dari awal.

28 November 2009

Sesuaikan Penghasilan Guru dengan Apa

Sesuaikan Penghasilan Guru dengan Apa

Oleh : Eddy Soejanto*)

Untuk melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial (UU nomor 14/2005 Guru dan Dosen Pasal 14 ayat (1) huruf a).

Artinya, penghasilan yang diterimakan kepada guru haruslah sejumlah penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum, atau berupa pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup guru dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi dan jaminan hari tua.

Ekspektasi yang digenggam para guru berdasarkan pasal tersebut memang sejalan dengan Pasal 40 ayat (1) huruf a dalam UU nomor 20/2003 tentang Sisdiknas yang menyatakan, bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.

Yang dimaksud dengan penghasilan yang pantas dan memadai adalah penghasilan yang mencerminkan martabat guru sebagai pendidik yang profesional di atas kebutuhan hidup minimum. Yang dimaksud dengan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, antara lain jaminan kesehatan dan jaminan hari tua.

Lebih jauh dalam UU Guru dan Dosen diatur mengenai kebutuhan hidup minimum seorang guru, yang disesuaikan dengan Pasal 15 ayat (3), dan diikuti Pasal 17 ayat (2), serta Pasal 19.

Secara garis besar, baik guru PNS maupun guru swasta setidak-tidaknya memiliki hak mendapatkan penghasilan sesuai dengan Standar Nasional berupa gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, dan maslahat tambahan. Untuk tiga item ini guru PNS mendapatkannya dari pemerintah, sedangkan guru swasta dari lembaga penyelenggara pendidikan swasta yang menaunginya.

Belum cukup dengan itu, pemerintah dan pemerintah daerah masih diharuskan lagi memberikan penghasilan lain kepada guru, berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru, dan ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi, yang dana-dananya dianggarkan dalam APBN atau APBD.

Nukilan bunyi pasal-pasal di atas menunjukkan, betapa bersungguh-sungguhnya bangsa ini dalam mencoba mewujudkan hak-hak guru menjadi sejahtera.

Dan lagi, jika berdasarkan peraturan perundang-undangan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, maka dikotomi guru itu sebenarnya tidak ada.

Oleh karena itu, dukungan dan dorongan kuat dari pemerintah dan pemerintah daerah menjadi urgen, sehingga apapun yang menjadi dasar untuk menimbang, mengingat, memutuskan dan menetapkan segala peraturan perundang-undangan yang menyentuh hajat hidup para guru, terkait penghasilan mereka demi kesejahteraannya, jangan pisahkan antara guru PNS dan guru swasta.

*)Eddy Soejanto pemerhati pendidikan.

27 November 2009

Good News, Good News, Pemprov Jatim Beri Bantuan kepada Guru Swasta, di 2010

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur akan memberikan bantuan dana kepada guru swasta sebesar Rp300.000,00 per bulan.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Drs. Soewanto, MSi, di Surabaya, Jumat, mengatakan bahwa program bantuan tersebut merupakan salah satu dari lima program yang akan dijalankan di tahun 2010.

Ia mengatakan, guru swasta yang berhak mendapat bantuan adalah mereka yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS), tidak menerima tunjangan profesi, dan yang tidak mendapat tunjangan kinerja dari pemerintah provinsi setempat.

"Guru swasta madrasah diniyah, SD/MI, SMP, dan MTs adalah guru yang akan mendapatkan bantuan dari pemerintah provinsi sebesar Rp300.000 setiap guru," katanya.

Selain memberikan bantuan pada guru swasta, kata dia, pemerintah juga akan memberikan bantuan kepada siswa yang bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri.

Ia menambahkan, untuk siswa madrasah diniyah tingkat 'ula atau sekolah dasar akan mendapatkan bantuan Rp15.000,00 per bulan per santri, sedangkan tingkat wustho atau sekolah menengah pertama dibantu sebesar Rp25.000,00 per santri setiap bulan.

Ia menambahkan selain program bantuan bagi madin dan guru swasta untuk tahun 2010 nanti, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga akan melakukan penuntasan buta aksara di beberapa daerah di Jawa Timur.

Selain program pemberdayaan bantuan guru swasta, madin, dan penghapusan buta aksara, yang keempat adalah pendirian lima SMK di Jawa Timur dan bantuan fasilitas bagi SMK sebagai salah satu cara untuk menghasilkan tenaga siap pakai di berbagai sektor lapangan pekerjaan. (Sumber, KGI- Klub Guru Indonesia)

04 September 2009

SK Inpassing Guru Swasta Ponorogo

Setelah cukup lama menunggu hasil pemrosesan, akhirnya diterbitkan juga SK Inpassing Guru Swasta Ponorogo. SK tersebut diserahkan langsung kepada yang berhak oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo pada hari Senin, 24 Agustus 2009, sekitar jam 12.30 di ruangan Kepala Seksi Tenaga Kependidikan (Tendik).

Sekitar 30% dari seluruh Guru Swasta lulusan sertifikasi guru PSG 15 UM Malang kuota Diknas tahun 2007 dan telah melengkapi administrasi persyaratan memperoleh SK Inpassing hadir memenuhi ruangan Tendik tersebut. Dalam keterangan singkatnya, Kasi Tendik Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo kepada guru-guru swasta penerima SK Mendiknas yang ditetapkan pada tanggal 24 Januari 2009 itu berpesan agar kinerja mereka semakin meningkat, dan semakin profesional. Juga mereka diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi guru-guru yang belum menerima SK Inpassing, bahwa mereka hanya tinggal menunggu waktu hingga gilirannya tiba.

Dapat ditambahkan, mereka yang menerima SK Inpassing tersebut tidak otomatis dapat mencairkan tunjangan profesi guru yang besarnya sesuai dengan jabatan dan pangkat/golongan ruang mereka sekarang. Pencairan tunjangan profesi guru sesuai dengan SK Inpassing itu akan dapat direalisasikan mulai bulan Januari 2010 mendatang.

Sehingga sampai dengan waktu yang telah ditentukan tersebut, mereka masing-masing tetap akan menerima Rp 1.500.000 per bulan sesuai dengan Permendiknas 72 Tahun 2008 tentang Tunjangan Profesi Bagi Guru Tetap Bukan Pegawai Negeri Sipil Yang Belum Memiliki Jabatan Fungsional Guru.

Diantara para penerima SK Inpassing tersebut, penulis ada bersama mereka yang mendapatkan jabatan Guru Dewasa dengan pangkat/golongan ruang Penata, III/c. Teman-teman guru swasta selebihnya mendapatkan jabatan dan pangkat/golongan ruang lebih tinggi, yaitu sebagai Guru Dewasa Tingkat I dan Penata Tingkat I, III/d.

Didapatkan keterangan, bahwa dalam mengurus SK Inpassing ini teman-teman dari Tendik Kabupaten Ponorogo harus belasan kali ke Depdiknas Jakarta. Ini jelas memperlihatkan usaha keras dan penuh dedikasi dari teman-teman birokrasi yang berstatus PNS demi memperjuangkan guru-guru non PNS. Bagaimana dengan Dinas Pendidikan di tempat Anda?

27 Juni 2009

Guru Swasta Bertanya, Pertanyaan-pertanyaannya Siapa Yang Menjawab

Pertanyaan-pertanyaan Guru Swasta

Oleh: Eddy Soejanto*)


Ketika Anda berobat kepada seorang dokter, Anda tidak akan pernah mempersoalkan apakah dokter tersebut berstatus PNS atau bukan PNS. Yang terpenting bagi Anda, dokter itu seorang profesional sehingga dengan cepat menyembuhkan penyakit Anda. Anda bersikap tidak mendiskriminasi seorang dokter berdasarkan perbedaan status, PNS atau bukan PNS, tetapi pasti berdasarkan kualitas keprofesionalan yang ditunjukkan dengan hasil pengobatannya.

Anda juga bersikap tidak diskriminatif terhadap seorang akuntan yang menangani masalah keuangan Anda, atau terhadap seorang ahli bangunan yang Anda percaya mendirikan bangunan rumah Anda, dll. Namun, bagaimanakah sikap Anda terhadap seseorang yang berprofesi guru?

Saya, atas nama teman-teman guru swasta, berterimakasih kalau seandainya sikap Anda konsisten sama dengan sikap Anda terhadap dokter, akuntan, atau ahli bangunan, dll. Yaitu tidak melakukan diskriminasi atas profesi guru, baik guru PNS maupun guru swasta, yang terpenting bagaimana kualitas keprofesian mereka.

Namun, bagaimana sikap pemerintah dan kebanyakan orang terhadap guru? Mengapa pemerintah selalu menginginkan mencetak guru profesional ketimbang lebih dulu membuat guru sejahtera? Mengapa orang suka mengejek guru tidak profesional ketimbang memberikan solusi agar guru mencapai kesejahteraan? Dan mengapa sebagian orang bersikap sinis, menganggap guru swasta cengeng, manja, karena mereka lebih suka mendahulukan tuntutan kesejahteraan ketimbang keprofesionalan?

Para atasan guru suka sekali memberikan jawaban dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan guru swasta tersebut dengan kalimat yang sederhana. Yaitu, keprofesionalan identik dengan kesejahteraan. Jadilah profesional, maka kesejahteraan akan datang dengan sendirinya. Tetapi, apakah guru profesional dapat dicapai tanpa kesejahteraan guru? Apakah kesejahteraan guru bukan jaminan bagi keprofesionalan guru? Apakah hanya keprofesionalan guru yang menjadi jaminan bagi mutu pendidikan? Apakah kesejahteraan guru tidak menjadi jaminan terwujudnya mutu pendidikan?

Bukankah guru PNS sejahtera dan oleh karena itu profesional? Tetapi, mengapa semua orang masih saja mempersoalkan terpuruknya mutu pendidikan kita? Jadi, apakah benar keinginan sebagian besar guru swasta agar bisa bersulih status menjadi guru PNS disebabkan oleh alasan agar mereka mampu mewujudkan peningkatan mutu pendidikan?

Sayang, ternyata terlalu banyak guru swasta yang tidak sejahtera dan tidak profesional, bukan? Apakah itu juga berarti terlalu banyak atasan guru swasta yang tidak mempedulikan kesejahteraan dan keprofesionalan bawahannya? Dan apakah ini berarti karena terlalu sedikit jumlah atasan guru swasta yang sejahtera dan profesional? Tetapi, siapa yang akan mempersoalkan mereka, atasan guru swasta, itu? Andakah?

*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan.

09 Juni 2009

Menyoal Pendidikan Nasional Tanpa Guru Swasta, Nggak Bisa Kan?

Oleh: Eddy Soejanto*)

Pendidikan Nasional tanpa menyertakan guru swasta, nggak bisa kan? Tetapi ketika banyak guru swasta mengeluhkan kekurangannya, ketimbang memahami hal itu sebagai suatu keniscayaan, malah tidak sedikit atasan guru swasta menengarainya sebagai sifat cengeng dan cenderung materialistis. Namun, jika ini dipandang menjadi luka yang sulit disembuhkan bagi sekolah dan yayasannya, maka bila hendak segera disembuhkan, para pihak mesti memahami bagian dari problematika keprofesian guru swasta yang memerlukan pemecahan tidak secara seragam, baik terhadap individu maupun kolektif.

Untuk itu, setiap mengambil kebijakan, para atasan guru swasta hendaknya memasilitasi mereka dengan sempurna. Sebab, kualifikasi akademik, kompetensi, dan kebutuhan guru swasta yang sangat beragam, jika diperberat lagi dengan minimalnya dukungan, dorongan, dan fasilitas yang dimiliki, mereka akan menjadi pelambat laju ketercapaian visi dan misi sekolah atau yayasan yang menaunginya. Memang, selalu tidak mudah menghindarkan datangnya kesulitan demi kesulitan yang langsung menghadang guru swasta ketika diharuskan mengikuti irama gerak perubahan yang digulirkan oleh pimpinan sekolah, atau yayasannya. Dan diakui atau tidak, ini terjadi sejak kurikulum seringkali berganti, sampai saatnya KBK berubah wajah menjadi KTSP, kemudian makin berat ketika sekolah lepas landas dari SSN menuju SBI.
Dari pengalaman itu, setiap guru swasta diajak mengeksplorasi pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dalam menerjuni perubahan demi perubahan, amat jarang mereka dipertemukan langsung dengan ahlinya. Kerapkali kebutuhan mereka akan berbagai kompetensi tersebut dicukupi melalui serangkaian kegiatan sosialisasi dari tutor sebaya, yang tidak lain adalah guru swasta rekan kerjanya sehari-hari. Dan diakui oleh para tutor itu, bukan dengan maksud basa-basi, bahwa dibandingkan dengan kebanyakan teman-teman mereka, kompetensi yang mereka peroleh hanya berbeda soal waktu. Mereka merasa punya kelebihan lebih dulu tahu, bukan lebih dulu ahli. Ditambah lagi, dilibatkannya mereka ke dalam ToT terkadang bukan berdasarkan terpenuhinya kriteria keahlian, tetapi diuntungkan oleh posisi atau jabatan strategis yang sedang disandangnya di sekolah atau yayasannya.

Fenomena tersebut diharapkan akan menjadi pembelajaran, selain kepada pihak pimpinan sekolah atau yayasan juga Pemerintah dan Pemerintah Daerah, agar selalu memberikan pertimbangan yang berkeadilan dalam menetapkan kuota guru swasta peserta bimbingan teknis di kegiatan apapun, lebih-lebih bila tutornya ahli dan melibatkan para pakar pendidikan. Demikian pula, mereka dituntut tidak kikir dalam memberikan fasilitas yang memadai bagi terwujudnya guru swasta menjadi pendidik profesional, selaras dengan tuntutan Standar Nasional Pendidikan. Semuanya akan bermuara pada perbaikan dan peningkatan kesejahteraan guru swasta. Sehingga apabila diungkapkan, kesejahteraan guru swasta yang memadai memiliki relevansi sangat signifikan terhadap kualitas profesinya, tidak lantas diejek sebagai materialistis dan cengeng.

Jika akhir-akhir ini tidak henti-hentinya guru swasta diminta segera mengubah realita keterpurukan dan bangkit membuat perubahan, maka kendalanya tetap pada peluang mereka yang kerap termarjinalkan. Untuk itu, guna mencapai kualitas keprofesian guru swasta yang signifikan, kepada mereka perlu diberikan banyak pendidikan dan pelatihan. Namun, dengan pendidikan dan pelatihan yang diterima tersebut, mereka tidak boleh berhenti pada tataran menjadi pandai, tetapi harus sampai pada tataran mampu menunjukkan kinerja profesionalnya, yaitu membimbing siswa dalam belajar. Jadi, kualitas keprofesian yang dijadikan ukuran bukan sekadar pandai atau tidak pandainya guru swasta, tetapi seberapa berhasil guru swasta membimbing siswa dalam belajar, atau seberapa besar peningkatan hasil belajar siswanya.


*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan.

08 Juni 2009

Masih Relevankah Menyoal Status Guru Swasta

Masih Relevankah Menyoal Status Guru Swasta?

Oleh: Eddy Soejanto*)

Apakah Anda berprofesi sebagai guru swasta? Setidak-tidaknya Anda akan bisa merasakan bagaimana perlakuan tidak adil dan dianaktirikan. Tapi benarkah itu terjadi akibat penciptaan banyak kutub antara posisi guru swasta, guru honorer, dan guru PNS? Atau, karena belum seriusnya pemerintah dalam menjaga dan melindungi profesi guru? Atau, karena ketakberdayaan yayasan dalam mengupayakan tingkat kesejahteraan yang memadai tanpa membebani masyarakat dengan cara menaikkan biaya pendidikan?

Doni Koesoema (2008) berpendapat, sebenarnya nasib guru lebih banyak ditentukan dua kekuatan, yaitu kekuatan negara dan kekuatan masyarakat.

Kekuatan negara terhadap guru bersifat memaksa dan mengatur. Ini bisa dibuktikan dengan terbitnya undang-undang, peraturan pemerintah, dan belasan Permendiknas serta ratusan butir rambu-rambu yang dengan congkaknya memperlihatkan, bahwa negara berkepentingan atas dipenuhinya kualifikasi akademik dan kompetensi bagi siapapun yang layak berdiri di ruang-ruang kelas. Berhadapan dengan aturan negara yang memaksa ini, para guru tidak dapat berbuat apa-apa selain tunduk menyesuaikan diri. Sebab, tidak ada pilihan lain lagi agar profesinya sebagai guru tetap berfungsi efektif dalam lembaga pendidikan.

Di sisi lain, kekuatan masyarakat berbentuk tekanan kultural yang menciptakan gambaran sosok seorang guru. Intinya, setiap guru harus memiliki pola perilaku yang oleh masyarakat boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam maupun di luar ruang-ruang kelas. Mulai dari bagaimana seharusnya cara guru bertuturkata, cara berpakaian, memasuki lingkungan pergaulannya dll. Menguak takdir atas kekuatan kehendak masyarakat ini akan menyebabkan individu guru terhempas kandas kehilangan integritas.

Ketika menghadapi kedua kekuatan tersebut, jika guru PNS saja tidak memiliki kekuatan penawaran, apalagi guru swasta. Mereka senantiasa tercegah memiliki alternatif selain bertekuklutut pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan. Berani membuat kasus sekecil apapun, asalkan dinilai melanggar norma sosial dan keluar dari kode etik, maka kepada oknum ini akan dibentuk stigma sebagai guru dengan pribadi yang kehilangan kualitas moral. Karena itu, di satu sisi sanksi sosial baik dari masyarakat maupun negara dapat dipandang sebagai hukuman, tetapi sisi lain juga bersifat memperbaiki. Ini yang mampu menjaga status dan martabat profesi guru agar tetap berharga di mata masyarakat dan negara.

Implikasinya, tidak setiap orang bisa mengklaim dirinya sebagai guru, jika negara dan masyarakat tidak memaklumkan keberadaannya sebagai guru. Hanya saja, situasi sosial, politik, dan ekonomi masih membuat status guru swasta termarjinalkan. Tuntutan pemerintah atas dipenuhinya kualifikasi akademik dan kompetensi tidak sertamerta dibarengi kesediaan pemerintah melindungi profesi guru swasta. Bahkan masih terus terdengar rintihan guru swasta yang penghasilannya terpuruk di bawah upah minimum regional. Para petinggi yayasan pun tidak dapat berbuat banyak karena alasan tak adanya dana.

Dengan demikian, pemerintah memiliki tugas mulia dalam menyejahterakan nasib guru swasta. Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan politik yang kuat. Ketidakmampuan yayasan dalam menyejahterakan guru swasta harus menjadi bagian dari perhatian utama pemerintah menangani pendidikan. Meskipun partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dunia pendidikan patut didukung, tetapi pemerintah wajib menjamin bahwa mereka harus mampu menyelenggarakan sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan, dan mengembangkannya ke arah bertaraf internasional. Jika banyak yayasan pendidikan tidak mampu memenuhi standar nasional pendidikan, maka dampaknya akan merugikan banyak pihak. Sebab, mereka akan sulit menghargai kinerja guru swasta, dan tidak mampu memberi pelayanan pendidikan yang terbaik bagi siswa oleh karena keterbatasan sarana, fasilitas, dan mutu guru swasta.

Untuk itu, pemerintah dan masyarakat harus menjaga, melindungi, dan menghormati profesi guru swasta sebagai prioritas. Secara khusus, pemerintah harus memberi jaminan finansial setara dengan upah minimum regional kepada guru swasta agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat sebagaimana telah dinikmati oleh guru PNS. Jaminan seperti ini hanya bisa muncul jika ada perlindungan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang benar-benar adil dan tidak memihak.

Apakah tidak mungkin kinerja menjadi satu-satunya cara untuk mengukur mutu seorang guru dan menjadi acuan untuk menghargai dan memperbaiki kesejahteraan mereka? Masih relevankah kesejahteraan itu terkait dengan status mereka sebagai guru swasta, guru PNS, atau guru honorer?

Jika harapan ini bisa direalisasikan, maka setiap guru swasta pasti hanya berpikir dan berupaya bagaimana menjaga kualitas dan mengembangkan keprofesiannya secara profesional. Guru swasta, atau guru honorer tidak lagi menginginkan sulih status sebagai pegawai negeri sipil menjadi satu-satunya cara mencapai kesejahteraan.

*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan.

03 Juni 2009

Menyoal Lagi Ihwal Ujian Nasional 2009 Dipicu Pengumuman UN 2009 Kasus Siswa Tidak Lulus 100% di 33 SMA Se-Indonesia

Masih ingatkah Anda, beberapa tahun silam pernah terjadi perdebatan sengit menyoal ujian nasional, antara DPR yang menghendaki dihapuskannya UN melawan pemerintah (Depdiknas) yang mempertahankan UN. Ternyata sampai detik ini kasus itu tidak menjadikannya landasan penjaminan mutu atas peningkatan kualitas pendidikan ke arah pencapaian standar nasional. Karena seperti yang selalu diunjukkan oleh pemerintah, pelaksanaan UN tidak terlepas dari tujuan menstandarisasikan kualitas lulusan yang diharapkan secara signifikan dapat bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan. Di lain pihak, kerisauan berbagai elemen masyarakat terhadap UN diaktualisasikan oleh DPR dalam wujud ketidak-setujuan mereka, apabila peranan nilai-nilai hasil UN adalah sebagai nilai-nilai yang paling menentukan dalam mempertimbangkan hak para siswa untuk lulus atau menamatkan sekolahnya.

Berdasarkan Prosedur Operasi Standar (POS), Pemerintah merencanakan hasil UN 2009 akan diumumkan sekitar pertengahan Juni 2009. Tetapi tanggal 30 Mei 2009 lalu tiba-tiba menyeruak kabar buruk ihwal peserta UN 2009 dari SMAN 2 Ngawi dan SMAN Wungu Madiun, beserta 31 SMA lain di seluruh Indonesia dinyatakan tidak lulus 100%.
Menurut Ketua Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo (http://detiknews.com, Selasa 2/6/2009) ke-33 SMA se-Indonesia yang siswanya 100% tidak lulus UN itu, karena kebocaran soal, sehingga diwajibkan mengikuti ujian ulang. Ujian ulang akan dilakukan pada tanggal 8-12 Juni 2009.

Sementara itu, meskipun telah terungkap bahwa kejadiannya disebabkan oleh kecurangan pihak penyelenggara, bagi para pengamat yang paling menjengkelkan adalah sanksi terhadap 33 SMA tersebut, yang ternyata hanya berupa ujian ulang. Kalau mau sesuai aturan, kenapa BSNP dan pemerintah tidak menetapkan saja pelaksanakan UN 2009 sebanyak dua kali, sebagai implementasi dari Pasal 66 ayat (3) dalam PP 19/2005. Sehingga, siswa dari 33 SMA tersebut tetap dinyatakan tidak lulus, tetapi diberi kesempatan mengikuti UN 2009 yang kedua bersama-sama dengan siswa-siswa lain yang tidak lulus di luar 33 SMA tersebut. Ini pasti akan dirasakan lebih adil bagi banyak pihak, ketimbang mengusulkan ujian Paket C bagi mereka.

Memang bila dinilai sejak awal, tidak sedikit pakar pendidikan yang berpendapat, bahwa penyelenggaraan UN penuh kontroversi. Sebab, di satu sisi pelaksanaan UN melanggar pasal 58 dalam UU No. 20 tentang Sisdiknas. Menurut aturan ini, penilaian peserta didik hanya dilakukan oleh pendidik, sedangkan evaluasi terhadap peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri, yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai BSNP. Tetapi, implementasi undang-undang itu berhasil direkayasa dengan berdasar kepada Pasal 63 ayat (1) dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sehingga penilaian pendidikan berubah menjadi dilakukan oleh tiga elemen, yaitu penilaian hasil belajar oleh pendidik, oleh satuan pendidikan, dan oleh Pemerintah.

Menurut Heri Akhmadi, Wakil Ketua komisi X DPR, kebijakan UN seperti ini jelas mencerminkan sikap pemerintah yang sekadar mau hasil, padahal banyak hal yang masih dipertanyakan terkait dengan UN. Mengapa yang dikejar standar kelulusannya bukan mutu pendidikannya. Sedang HAR Tilaar (2005) pernah secara tegas menolak pendapat pemerintah (Wapres JK), bahwa UN akan dapat memicu peserta didik berusaha lebih keras dan mengenyahkan budaya lembek. Beliau menegaskan ini tidak benar. Sebab, watak lebih terkait soal moral dan nilai-nilai yang dilaksanakan dalam kehidupan, bukan sebatas lulus mata pelajaran yang di-UN-kan. Jadi, UN secara sistematis malah menciptakan penghambat bagi anak didik untuk meneruskan ke jenjang berikutnya, karena keharusan memenuhi nilai UN tertentu yang dipakai sebagai kriteria kelulusan.

Belajar dari kasus 33 SMA tersebut, maka patut direnungkan lagi, apakah dunia pendidikan sudah tidak mampu menyelenggarakan UN yang lebih mencerminkan keluhuran moral dalam menghadapi dan mengatasi permasalahannya? Pasti dibutuhkan waktu lama lagi untuk bisa mewujudkan kembali perilaku jujur dan sewajarnya ketika melaksanakan UN; di mana para siswa memiliki kesiapan mental untuk tidak lulus, dan para orangtua berani menerima kegagalan anaknya, serta ketegaran sekolah untuk terus mengedepankan integritas tinggi, meskipun gagal meluluskan siswanya seratus persen.

Oleh karena itu, bagaimana pun berat dan miringnya masalah-masalah seperti diuraikan di atas, guru-guru harus tetap membawanya dalam arus pembelajaran yang positif. Kita sadar, ada sesuatu yang terlanjur timpang di dunia pendidikan, sesuatu yang senjang; di antara kekhawatiran gagal dengan konsistensi mempertahankan integritas moral selama melaksanaan pembelajaran, menyelenggarakan ujian, dan kegiatan lain yang tak hanya dibatasi oleh ruang-ruang kelas. Namun, selama akar permasalahannya masih bersifat manusiawi, semuanya harus diatasi, diselesaikan, dibereskan, dan atau dipecahkan melalui pemikiran, perenungan, dan pemahaman yang baik.

16 Mei 2009

GURU SWASTA MERINDUKAN INSENTIF DARI PEMERINTAH KOTA/KABUPATEN

Merindukan Insentif Guru Swasta Dari Pemerintah Kota/Kabupaten

Oleh: Eddy Soejanto*)

Isu kesenjangan penghasilan guru swasta dengan rekannya seprofesi yang pegawai negeri sipil telah berkali-kali diangkat, tetapi berkali-kali pula mengalami balasan perlakuan mengecewakan dari pihak eksekutif. Sampai dengan detik ini. Batu sandungannya berupa pemahaman para petinggi birokrat kantoran, bahwa kesejahteraan setiap guru swasta adalah tanggungjawab sepenuhnya pihak yayasan yang mengangkatnya sebagai guru. Maka pemerintah kota atau kabupaten merasa paling benar bila menyejahterakan guru swasta sama sekali bukan kewajiban mereka.

Argumen tersebut tidak dapat dibantah, seandainya para guru swasta bukanlah gurunya anak-anak rakyat sama dengan peranan guru PNS. Padahal pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Demikian yang tertera di dalam Penjelasan atas UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sesungguhnya sebagai imbalan atas terpenuhinya persyaratan kualifikasi akademik, sertifikat pendidik, dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, maka guru swasta pun akan mendapatkan hak-haknya sebanyak sebelas butir. Hak guru swasta yang mula-mula dituliskan dalam UU Sisdiknas Nomor 20/2003 Pasal 14 ayat (1) butir a, berbunyi : guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Yaitu, pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup guru swasta dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud di atas meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, subsidi tunjangan fungsional, tunjangan khusus dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru swasta yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar profesi (UU Sisdiknas Nomor 20/2003 Pasal 15)
Yayasan dengan segala keterbatasannya, jelas tidak akan segera dapat memenuhi tuntutan aturan perundang-undangan tersebut. Untuk menjembatani kondisi ini menuju ke arah yang dikehendaki undang-undang, beberapa program digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001. Program yang paling membantu peningkatan kesejahteraan guru swasta ini adalah program subsidi guru. Pada hakekatnya program subsidi guru merupakan upaya sementara dari pemerintah untuk mengatasi kurangnya kesejahteraan guru swasta, terutama dari penghasilannya, sampai suatu saat guru swasta mendapatkan pendapatan yang layak sebagaimana profesi lainnya.

Sungguh disayangkan, subsidi sebesar 115 ribu rupiah per bulan bagi setiap guru swasta tanpa pandang bulu itu, ternyata dihentikan di awal tahun 2007 seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah. Dan digantikan dengan pemberian tunjangan fungsional yang lebih ketat dengan syarat dan ketentuan berlaku. Padahal dampak positif dari subsidi guru bagi guru swasta masih belum nampak. Program subsidi guru ini tidak sempat merubah kesenjangan penghasilan antara guru swasta dengan guru pegawai negeri sipil, apalagi dengan profesi lainnya.

Untuk itu, seyogianya pemerintah kota atau kabupaten berkenan mengadopsi program subsidi guru tersebut, dengan dasar pemikiran dan landasan hukum sebagaimana program subsidi guru yang telah dijalankan oleh pemerintah.

*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan di Ponorogo