23 Mei 2011

O, Guru, Aniaya Itu, Ah ... Ikhlaskan Saja

Saya yakin, guru swasta tidak hanya disia-siakan oleh sistem di dalam yayasan tempatnya bernaung. Guru swasta juga sering teraniaya oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah. Sudahlah, kalau mau membuktikan pelajari saja yang ada di awal pusat permulaan permasalahannya yaitu PP 48/2005.

Di sisi lain, selalu terjadi perbedaan antara Guru non PNS sekolah negeri dengan guru swasta dalam hal penerimaan insentif daerah, belum lagi persoalan di seputar kesejahteraan, yang seakan-akan tidak habis-habisnya meremehkan peran guru swasta.

Seandainya semua anggota DPR/D mau menyimak persoalan guru swasta ini dengan baik, barangkali mereka sekarang sudah memikirkan suatu usulan untuk membuat satu permen/perda yang dapat memobilisasi dana berasal dari para orangtua siswa dan stakeholders pendidikan khusus bagi guru swasta. Tapi sayang, mereka sedang sibuk sendiri kayaknya.

Padahal jika bicara urusan kinerja, baik guru PNS maupun guru swasta, tak pernah ada yang mengatakan harus dibedakan. Oleh pemerintah tidak pernah dibedakan tanggungjawab mereka terhadap kualitas hasil proses pendidikan anak bangsa, di dalam maupun di luar ruang-ruang kelas.

Jangankan terhadap keberhasilan, terhadap proses pendidikan yang gagal pun mereka harus mengakui sebagai penanggungjawabnya. Tetapi begitu dibenturkan pada urusan kesejahteraan atau peningkatan kompetensi, guru swasta paling terpojok, terjungkal, dan dipaksa bergolak. Atau, diam saja menyerah kalah oleh keadaan. Itulah pilihannya.

Namun ketika para guru swasta akhirnya memilih berani dan gigih memperjuangkan dihapuskannya diskriminasi guru, gerakan mereka malah sering dituduh kontra produktif. Jadi, apakah aniaya itu boleh diikhlaskan begitu saja?

12 Mei 2011

O, Guru, Mari Menyoal Tugas Pengawas

Dulu guru hanya kenal satu pengawas, pengawas sekolah. Sejak dikawinkannya Permendiknas Nomor 12 tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, maka dilahirkanlah banyak pengawas, yaitu pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran, atau pengawas kelompok mata pelajaran.

Terus yang sering mendatangi sekolah kita itu pengawas yang mana ya? Biasanya ketuk pintunya di ruangan kepala sekolah. Mereka berdua bincang-bincang sejenak, kemudian tiba saatnya kepala sekolah minta dipanggilkan wakil kepala sekolah, atau guru untuk mengisi format instrumen penilaian. Dulu kok selalu begitu.

O, guru, sekarang ada pengawas satuan pendidikan, yang tugasnya adalah melaksanakan supervisi manajerial dan supervisi akademik.

Kegiatan bagi pengawas satuan pendidikan untuk ekuivalensi dengan 24 (dua puluh empat) jam tatap muka per minggu adalah sebagai berikut: (a.) Jumlah sekolah yang harus dibina untuk tiap pengawas satuan pendidikan paling sedikit 10 (sepuluh) sekolah dan paling banyak 15 (lima belas) sekolah, (b.) Jumlah guru yang harus dibina untuk tiap pengawas satuan pendidikan paling sedikit 40 (empat puluh) guru dan paling banyak 60 (enam puluh) guru. Tuh, kan, berat, tapi tak sedikit guru yang pengen juga menjabatnya.

11 Mei 2011

O, Guru, Pahami Ini Juga

Permendiknas Nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, menyatakan bahwa jenis pengawas terdiri dari

1). Pengawas Taman Kanak-Kanak/Raudatul Athfal (TK/RA) dan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI),

2). Pengawas Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) dan Pengawas Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) dalam Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, atau Seni Budaya),

3). Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK) dalam Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, Seni Budaya, Teknik dan Industri, Pertanian dan Kehutanan, Bisnis dan Manajemen, Pariwisata, Kesejahteraan Masyarakat, atau Seni dan Kerajinan).

Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru Pasal 54 ayat (8) menyatakan bahwa pengawas terdiri dari pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran, atau pengawas kelompok mata pelajaran.

Kondisi jenis pengawas saat ini ada yang sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tentang Guru Pasal 54 ayat (8) dan (9) dan ada yang sesuai dengan Permendiknas Nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.

Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Permendiknas Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, jenis pengawas disesuaikan dengan kondisi saat ini. Selanjutnya harus mengikuti ketentuan sebagaimana disebut dalam Peraturan Pemerintah 74 tahun 2008 tentang Guru.

Sebagai guru, kita tunggu saja, mana yang lebih dulu memenuhi ketentuan, guru atau pengawas. Begitu bukan?

O, Guru, Paham Ini Bukan

Bahwa Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Pemendiknas Nomor 39 Tahun 2009 tertanggal 30 Juli 2009 tentang Pemenuhan Beban kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan harus sudah memiliki rencana kebutuhan guru pada daerah masing-masing, melakukan redistribusi kelebihan guru dan merencanakan rekruitment guru baru. O, kalau demikian bulan Juli 2011 depan sudah tiba waktunya tuh.

Sesuai ketentuan, pemenuhan kewajiban mengajar paling sedikit 24 jam tatap muka dalam 1(satu) minggu merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Keberhasilan pemenuhan beban kerja guru sesuai dengan ketentuan sangat bergantung pada pemahaman, kesadaran, keterlibatan dan upaya sungguh-sungguh dari segenap unsur yang terkait. Siapa saja unsur terkait ini, tahu kan?

Upaya unsur-unsur terkait itu dalam pemenuhan beban kerja guru juga merupakan cermin keberhasilan rencana pengembangan sekolah. Sebab, pelaksanaan pemenuhan beban kerja guru ini akan mendukung tercapainya guru profesional yang mampu menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara adil, bermutu, dan relevan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia dan global. Percaya saja lah.

07 Mei 2011

O, Guru, Kurikulummu Sebentar Lagi Baru

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, Kementerian Pendidikan Nasional berencana merombak kurikulum beberapa mata pelajaran pada pendidikan dasar dan menengah (http://edukasi.kompas.com/)

Ini mengingatkan lagi ketika KBK diterbitkan menjelang 2004 yang tak lama kemudian diubah menjadi KTSP dan sekarang 2011 akan diubah lagi, sehingga saya semakin yakin kalau ganti menteri bakalan ganti kurikulum.

Bagi guru-guru yang bosan kekenyangan merasakan berkali-kali pergantian kurikulum maklum sudah bagaimana harus bersikap. Silahkan, Mendiknas mau bawa ke mana pun kurikulum itu nanti. Termasuk bawaannya dengan seabreg kiat pengembangan dan penyempurnaan terhadap kurikulum yang mendahului. Tetap saja hanya ada satu hal yang sudah menjadi kepastian, yaitu para gurulah yang akan menjadi ujung-tombaknya.

Sebab, guru-gurulah yang akan lebih dulu berada di ruang-ruang kelas berhadapan dengan para siswa untuk mengimplementasikan kurikulum baru apapun namanya. Jadi bukan para birokrat kantoran atau para pejabat pembuat kebijakan yang membarukan setiap kurikulum cukup dari belakang meja-meja kerja mereka.

O, Guru, Karaktermu Itu Pendidikannya

Di Hardiknas tahun 2011 ini Mendiknas mencanangkan Pendidikan Karakter.sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa. Kok begitu ya? Maksudku, kok tidak memosisikan guru sebagai sumber segala sumber pendidikan karakter. Apakah bukan guru itu sendiri yang seharusnya menjadi materi pendidikannya?

Jika dikehendaki pendidikan karakter itu di ruang-ruang kelas, semoga saja semua guru bisa memahaminya secara utuh. Paling tidak bisa memaknai perannya, bahwa yang dibutuhkan dalam pendidikan karakter sama sekali bukan sekedar seberapa piawai guru menransfer pengetahuannya ihwal karakter ke anak didik.

Teman guru saya pernah memarahi anak didiknya yang ketahuan merokok di sekolah, tetapi entah sadar atau tidak, rokok di sela-sela jemarinya masih menyala. Saya juga mempunyai teman seorang kepala sekolah yang di halaman sekolahnya terpampang tulisan larangan merokok. Maaf ini baru tentang rokok, bagaimana dengan budi pekerti?

Oleh karena itu, menjadi guru yang profesional, bermartabat dan sejahtera tentu akan dapat memberikan contoh keteladanan, sehingga benar-benar bisa digugu ditiru sebagai bagian dari pendidikan karakter yang suksesnya tidak usah meniru P4 dulu itu.

O, Guru, Mutumu Berkisar dari Satu Pembinaan ke Pembinaan Ya

Antara kepala sekolah dan guru saling meyakini, baik yang memimpin maupun yang dipimpin tak mungkin lepas dari dekapan kesalahan, walaupun ada solusinya.
Sebagai atasan, kepala sekolah wajib memperbaiki atau menyempurnakan kinerja guru-guru bawahannya. Begitu pula guru-guru sebagai bawahan wajib menunaikan perintah atau tugas dari atasannya, berusaha keras menghindari kekurangan dan kesalahan.

Namun, tidak perlu terhadap kekurangan dan kesalahan guru selalu kata pembinaan yang digunakan kepala sekolah sebagai satu-satunya senjata pamungkas mengakhiri kekurangan dan kesalahan. Apalagi cuma dijalankan rutin setiap hari Senin, misalnya.

Jika yang demikian diteruskan, bagaimana mungkin bisa dikembangkan kebiasaan saling memuji keunggulan masing-masing, yang diharapkan berujung secara bijak mampu merefleksi diri sehingga melangkahnya berorientasi ke depan.

Mestinya kepala sekolah banyak memberikan motivasi, bertindak atas umpan balik positif, mengutamakan reward ketimbang hukuman. Dan ini tidak bakal bisa ia lakukan di saat pertemuan dengan guru-guru yang suka disebut pembinaan itu.

O, Guru, Statusmu Non PNS

Apakah Anda berprofesi sebagai guru non PNS? Anda pasti merasakan perlakuan tidak adil dan dianaktirikan. Tapi benarkah itu akibat penciptaan banyak kutub di antara status guru? Atau, karena belum seriusnya pemerintah dalam menjaga dan melindungi profesi guru? Atau, karena ketakberdayaan yayasan dalam mengupayakan tingkat kesejahteraan yang memadai tanpa membebani masyarakat dengan cara menaikkan biaya pendidikan?

Keprofesionalan guru terpola akibat campurtangan dua kekuatan, yaitu pemerintah dan yayasan. Pemerintah jelas-jelas mengatur dan memaksa guru agar senantiasa menaati segenap undang-undang, peraturan pemerintah, dan belasan Permendiknas serta ratusan butir rambu-rambu.

Bagi guru non PNS terasa banget betapa congkaknya produk peraturan dan perundang-undangan mereka itu dalam memperlihatkan, bahwa pemerintah berkepentingan atas dipenuhinya kualifikasi akademik dan kompetensi bagi siapapun yang layak berdiri berhadapan para peserta didik di ruang-ruang kelas.

Tapi para guru non PNS mau berbuat apa selain harus tunduk takluk untuk menyesuaikan diri. Sebab, tidak ada pilihan lain lagi.

Yayasan, kalau tak mampu memenuhi kesejahteraan guru non PNS, masih bisa memberikan tekanan kultural. Mereka ingin menciptakan sosok guru non PNS memiliki pola perilaku yang oleh masyarakat boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam maupun di luar ruang-ruang kelas.

Mulai dari cara guru non PNS berkomunikasi dengan tutur kata, berpenampilan dari cara berpakaian, sikapnya dalam pergaulan di lingkungannya dll. Menguak kekuatan kehendak yayasan ini akan menyebabkan guru non PNS terhempas kandas kehilangan integritas di mata masyarakatnya..

O, Guru, Masih Gurukah Anda?

Seandainya perjalanan para guru selama mengantarkan para anak didik menuju puncak prestasi dilakukan dengan senantiasa bersikap gigih, ulet, dan sabar, namun hasilnya tidak mencapai tujuan yang diharapkan, apakah secara otomatis guru yang gagal? Apakah selalu berarti, kegagalan anak didik adalah kegagalan gurunya?

Bila benar, kegagalan anak didik adalah kegagalan guru, maka pasti ini cerminan kinerjanya yang buruk. Padahal kualitas kinerja guru bergantung keberhasilan kepala sekolah, dan kualitas kinerja kepala sekolah, bergantung keberhasilan atasannya. Tapi mengapa keberhasilan anak didik tidak otomatis membawa penghargaan terhadap gurunya?

Kait-mengait kinerja ini jangan dihindari, atau diingkari. Walaupun sebaik-seburuk apa pun kinerja guru, pendapat para pemegang kekuasaan lah yang harus dianggap benar. Guru sebagai bawahan boleh bisu ketakutan bila melakukan pembelaan.

O, guru, masih gurukah Anda bila kultur sekolah menjadi tidak kondusif seperti itu? Sebab, yang kondusif tentu nampak pada bagaimana sekolah melakukan pengelolaan hari-hari efektif fakultatif dan hari-hari efektif.

Kultur sekolah yang tumbuh dan berkembang sangat kondusif bagi lahirnya kreativitas, tanggungjawab, dan kebersamaan guru serta seluruh tenaga kependidikan lainnya. Untuk mewujudkan ini merupakan tugas dan tanggungjawab setiap kepala sekolah dalam memberikan jawabannya.

O Guru, Kapan Suksesnya

Semoga saja masih ada guru yang mengatakannya dari dasar hati yang paling dalam, bahwa alasan paling azasi mengapa mendidik anak-anak kita, bukan hanya untuk membekali mereka pengetahuan dan kecakapan, agar nilainya bagus, naik kelas, lulus ujian, tetapi juga menginginkan agar anak-anak kita berakhlak mulia.

Dengan tetap berjalan di koridor akhlak mulia inilah, diharapkan anak-anak kita kelak berhasil memenuhi apa yang mereka butuhkan untuk meraih kecukupan ekonomi dan kepuasan pribadi. Paling tidak bisa menyamai kesejahteraan dan kebahagiaan kita, orangtua mereka, atau kemuliaan guru-guru mereka.

Ampun guru, ada teman saya yang sekarang sudah berhasil secara ekonomi, menjadi bos terkenal dan kaya, tapi dulu dia bukan murid pandai di kelas kita. Kenapa bintangnya justeru bersinar cemerlang setelah dia terjun ke masyarakat dan berada di dunia yang sebenarnya?

Lalu apakah tepat untuk menyebut guru sebagai guru yang sukses, karena dia telah memenangkan lomba berkali-kali atau pernah meraih gelar guru teladan? Terserah jawaban Anda. Namun bagi saya, guru harus sukses mempersiapkan anak-anak kita belajar bagaimana belajar, justru setelah mereka berada di dunia nyata, di luar ruang-ruang kelas.

O Guru, Jangan Asal Mengaku telah Melakukan Aksi Berinovasi

Saat ini orang mudah sekali memperoleh informasi ihwal berbagai model pembelajaran inovatif. Namun, guru jangan begitu saja menerima hasil polesan itu sebagai satu-satunya temuan mutakhir dalam inovasi pembelajaran.

Atau, sebagaimana kata Dave Meier guru jangan terlalu terpesona oleh metode-metode yang menekankan kesenangan dan permainan, muslihat cerdik, dan teknik-teknik menarik tanpa bukti sama sekali, bahwa semua ini dapat menghasilkan nilai yang awet, tanpa lebih dahulu memikirkan asumsi-asumsi mengenai belajar itu sendiri.

Belajar yang benar menyangkut baik ini/maupun itu, baik buku maupun pengalaman, baik kata maupun gambar, baik otak kanan maupun otak kiri, baik proses berurutan maupun simultan, baik refleksi abstrak maupun pengalaman konkret. Pembelajaran harus berdasarkan aktivitas, pengalaman dalam konteks dunia nyata seotentik mungkin, melibatkan seluruh otak, seluruh tubuh dan seluruh indra (Dave Meier, 1999)

Jadi, modal siswa yang berupa akal maupun nafsu, semuanya wajib dilayani dengan benar oleh guru. Walaupun demikian, mampukah guru seorang diri menerapkan pendidikan yang sedemikian ideal dalam sebuah kelas yang tidak ideal?
Sebab, kelas dengan jumlah siswa lebih-kurang 30 orang, pasti bukan kelas ideal. Selain ini, juga harus diingat, kebanyakan guru mengelola kelas reguler, bukan kelas akselerasi, maka di dalam kelas guru selalu menjumpai siswa malas dan nakal.

Implikasinya adalah jika siswa malas maka nilai kognitifnya akan buruk, dan jika siswa nakal maka nilai afektifnya akan jelek. Dengan keadaan siswa seperti ini, bukankah semestinya malah merupakan tantangan bagi guru?
Untuk itu, guru harus merasa memikul tugas untuk mengubah siswa malas menjadi rajin, dan siswa nakal menjadi baik. Dan dengan guru menguasai praktik berbagai model inovasi pembelajaran barangkali semuanya itu akan teratasi.

O, Guru, Aku Tak Cuma Mengingatmu di Hari Guru

Karena aku yakin, sampai kapanpun gurulah kunci pembuka segenap pintu memasuki keberhasilan tujuan pendidikan. Keberhasilan siswa pastilah cerminan dari keberhasilan kinerja gurunya. Oleh karena itu, hargailah para guru itu.

Tapi, apa sih puasnya setiap saat kita hanya menghargai mereka dengan adagium guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa?

Kenapa tidak diakui terus-terang saja kalau para guru itu memang berjasa? Kemudian, tidak perlu merasa bersalah memberi mereka sebuah tanda yang cukup memadai, yang senilai dengan martabatnya dengan seorang pahlawan. Atas nama para guru, terimakasih.

Namun, kalau ada oknum guru yang berbuat khilaf gagal mewujudkan cita-cita itu, biasanya media massa terkesan sekehendaknya menilai rendah guru. Dengan berita-berita miring itu, profesi guru seakan sah saja ditekan-tekan, dilecehkan dengan sarkasme, dan cara-cara lain yang nuansanya merendahkan martabat guru sehingga banyak menimbulkan perasaan tak suka kepada profesi guru.

O, Guru ... !! Tak Ada Siswa Bodoh ... !!

Banyak guru tidak menyadari, bahwa mereka dituduh telah melakukan malapraktik pendidikan, jika tidak dapat menyesuaikan diri dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat 1, UURI 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 28 ayat 1, PP 19/2005 tentang SNP, Pasal 3 ayat 2, PP 74/2008 tentang Guru, dan Permendiknas 41/2007 tentang Standar Proses. Untungnya masyarakat tak banyak tahu tentang ini, atau kalau tahu tak pedulikan itu.

Guru baru merasakan gusar dan tersinggung berat ketika dikatakan, bahwa seharusnya tidak ada siswa yang bodoh, tetapi yang ada adalah guru yang tidak bisa mengajar.

Pernyataan ini pasti akan dibantah. Sebab, bukan karena guru tidak bisa mengajar, tetapi cara mengajarnya yang main pukul rata menerapkan metode pembelajaran dan cara melakukan penilaian semua diseragamkan.

Padahal guru-guru itu tahu, bahwa setiap siswa memiliki keunikan kecerdasan. Sehingga tidak pas kalau hanya satu metode pembelajaran digunakan melayani seluruh tipe kecerdasan siswa, termasuk juga cara melakukan penilaian. Ini mengakibatkan tidak mudahnya proses belajar pada diri siswa, dan disimpulkan dia sebagai siswa yang mengalami kesulitan belajar, alias lamban, atau bodoh.

Tidak ada yang perlu dituding salah dari kekurangan-kekurangan yang dialami oleh mereka, guru dan siswa. Yang jelas, semakin ke depan justru makin banyak dirasakan, bahwa sistem pendidikan kita kurang leluasa dalam memberikan ruang gerak yang memungkinkan guru melakukan pembelajaran optimal melayani siswa sesuai dengan tipe kecerdasan mereka.

Jadi, satu contoh saja, seperti penyelenggaraan ujian nasional, terkait dengan pelayanan optimal guru kepada tipe kecerdasan siswa, tidak mungkin bisa mengurai benang kusut persoalan pendidikan.

O, Guru ... !!

O, Guru !
Ketika para guru diminta mengapungkan kesadaran berpikir kritis dan berpikir kreatif ke permukaan kolam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dari kedalaman sekian banyak mata pelajaran yang harus diceburi oleh para anak-didik di sekolah, agaknya akan senantiasa menjadi beban bagi para guru.

Di ruang-ruang kelas beban itu disandang, karena tidak didukung oleh tenaga simpanan pengalaman belajar mereka di masa lampau. Hampir sama dengan kebanyakan dengan para anak-didiknya sekarang ini, guru-guru itu sejak duduk di bangku SD sampai SMA dipastikan kurang sekali diberi kebebasan agar terdorong belajar merenangi gelombang demi gelombang cara-cara berpikir kritis dan kreatif.

Pada saat itu, mereka sebagai siswa mengalami masa-masa bersekolah yang kurang demokratis. Artinya, terbiasa mengiyakan semua apa yang disampaikan oleh para guru, ditambah pola makannya dengan menu ilmu yang hanya mengandalkan racikan tunggal para guru, menyebabkan mereka seringkali mengalami sembelit alternatif dalam upaya mengeluarkan kemampuan guna mencari cara lain menguasai mata pelajaran yang diajarkan.

Jadi, kalau dunia pendidikan kita sekarang terpuruk, kenapa mesti guru yang merupakan produk pendidikan masa lalu itu yang disalahkan.