29 Desember 2009

Biar Sampai Luber Jangan Persukar Bila Guru Menimba Ilmu



Sebut saja, apakah itu seminar, lokakarya, diklat, dan sejenisnya yang diselenggarakan di luar sekolah, maka kepesertaan guru-guru menjadi sebuah keniscayaan. Jangankan gratis, berbayar pun mereka kadang setengah berlomba mencari peluang lebih dulu mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut.

Meskipun motivasi mereka berlainan, semuanya tentu dimaksudkan untuk mendukung tercapainya impian mereka. Mungkin masih banyak yang hanya menginginkan lengkapnya koleksi sertifikat dalam sejumlah dokumen portofolio, atau demi alasan yang lain.

Tetapi bagi mereka yang sadar, hal tersebut bukanlah sesuatu yang paling penting. Sebab, pengetahuan yang diperoleh dengan cara demikian itu, seberapa pun banyaknya, baru akan tampak manfaatnya setelah mereka implementasikan di depan siswa dalam ruang-ruang kelas. Tidak cukup hanya dengan mempertontonkan koleksi sertifikat mereka agar dinilai oleh para asesor.

Sayang, masih saja terjadi ketimpangan dalam hal meraih peluang kepesertaan dalam seminar, lokakarya, diklat, dan sejenisnya tersebut. Di tiap sekolah selalu ada guru yang tidak memperoleh kesempatan, karena mereka dilarang meninggalkan jam-jam mengajar. Di sisi lain, rekan-rekan sejawat mereka ada yang dibiarkan gemar mengikuti seminar, atau diizinkan menghabiskan waktu sampai ratusan jam bermukim dalam satu diklat ke diklat lainnya.

Fenomena itu menyebabkan beberapa guru menjadi sangat menonjol kemampuan dan pengetahuannya, walau belum pasti karena mereka lebih pandai, tapi lebih dikarenakan mereka mendapatkan kesempatan duluan menimba ilmu. Namun jeleknya, atasan seringkali meremehkan mereka yang tertinggal, yang pengetahuan dan kemampuannya diperoleh lebih kemudian itu, dan dengan enteng mereka diasumsikan lebih bodoh.

Bahkan yang paling menjengkelkan lagi adalah apabila guru-guru yang sedang berada dalam posisi tertinggal tersebut disupervisi oleh para pengawas pendidikan. Guru-guru diminta selalu melakukan implementasi pengetahuan dan kemampuannya dengan benar, sedangkan mereka enak-enak menguasai teorinya dan berani mencela setiap kekurangan guru-guru itu dalam memraktikkan.

Ampun pemerintah, jika demikian ini kejadiannya, bukankah ini hanya masalah posisi, bukan isi otak?

23 Desember 2009

Di 2010 Ada POS UN Pengobat Cemas Siswa Gagal Lulus

Pada nggak tahu sih, betapa betenya sebagian besar teman-temanku guru dan kepala sekolahnya akhir-akhir ini, ketika mereka dipaksa memikirkan Ujian Nasional, si UN itu. Singkatan UN ini resmi, mengacu pada Lampiran A.9 di Permendiknas Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Mula-mula mereka mempertanyakan diadakan atau tidak diadakannya UN, yang ternyata jawabannya tegas, UN pasti diadakan. Akibatnya mereka semua dipaksa kelabakan sehingga sibuk kelayaban di internet berburu POS (Prosedur Operasi Standar) UN, karena tanpa memegang ini sebagai implementasi Pemendiknasnya, mereka akan benar-benar blank. Percayalah, budaya menunggu petunjuk dari atasan itu tetap kental di dunia pendidikan. Entah itu petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan.

Apa sih hebatnya POS UN 2010? Tidak ada, kalau yang dimaksudkan adalah berjenis-jenis UN, seperti UN Utama, UN Susulan, dan UN Ulang.

Tapi ada yang menarik memang, yaitu UN tahun 2010 ini dapat diikuti oleh mereka yang dinyakan tidak lulus pada UN tahun 2008 atau UN tahun 2009.

Ini jadi mengingatkan saya, ketika BSNP mengadakan UN ulang bagi beberapa SMA di Jatim yang siswanya tidak lulus 100 persen. Waktu itu, keputusan BSNP dinilai tidak adil dan tidak mendidik. Kebijakan itu melukai dan membuat dendam hati para pelajar yang tidak lulus di sekolah lain.

Oleh Kuswiyanto, seorang anggota Komisi E DPRD Jawa Timur ditambahkan, bahwa keputusan BSNP itu dinilai menunjukkan arogansi BSNP dan tindakan diskriminasi dalam dunia pendidikan. Pasalnya, di tahun 2009 itu tidak ada kebijakan yang juga memberikan kesempatan UN ulang untuk pelajar di sekolah-sekolah lain yang dinyatakan tidak lulus UN.

Ampun pemerintah, apakah karena kritikan pedas itu, maka di POS UN 2010 ditambahkan aturan baru guna mengantisipasi kalau-kalau kejadian serupa terulang kembali? Atau, apakah sebagai penebus dosa masa lalu, maka kalian kemudian memberikan tambahan aturan berikut ini:

@Peserta yang tidak lulus UN pada tahun pelajaran 2007/2008, dan/atau 2008/2009 yang akan mengikuti UN tahun pelajaran 2009/2010: a. harus mendaftar pada sekolah/madrasah asal atau sekolah/madrasah penyelenggara UN;b. menempuh seluruh mata pelajaran yang diujikan atau hanya mata pelajaran yang nilainya belum memenuhi syarat kelulusan sesuai dengan Permendiknas Nomor 75 Tahun 2009. Nilai yang digunakan adalah nilai tertinggi dari hasil ujian.

Dan @Persyaratan Peserta Ujian Nasional Ulangan: Peserta UN yang tidak lulus UN utama termasuk susulannya pada tahun pelajaran 2009/2010 dapat mengikuti UN ulangan pada seluruh atau sebagian mata pelajaran dengan nilai di bawah 5,50 yang dipilih. Nilai yang digunakan adalah nilai tertinggi.

Aturan yang ditambahkan itu bagi saya memiliki makna, bahwa siswa peserta UN tidak perlu cemas bila dinyatakan tidak lulus. Mereka dijamin bisa mengikuti ujian ulang, dan itupun hanya untuk mata pelajaran yang nilainya tidak mencapai ketentuan. Kalau ternyata masih ada siswa yang tidak lulus juga, kalian mau dunk tahun depan ikut UN lagi. Toh gratis, semua biaya UN senantiasa ditanggung pemerintah.

20 Desember 2009

Sampaikan Pesan Guru Bawahan Ini Kepada Atasannya, Kalau Berani

Baiklah, Pak Zamroni, benar-benar susah membantah pendapat Anda yang mengatakan, bahwa dalam mendorong terciptanya kemajuan bangsa Indonesia, ada dua kebenaran yang fundamental.

Pertama, keberhasilan menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik daripada sebelumnya. Kedua keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru profesional yang memiliki kekuatan dan tanggungjawab baru untuk merencanakan sekolah masa depan.

Namun, pada proses peningkatan kualitas guru itu, implementasinya harus selalu terkait dengan proses memberdayakan atasan guru. Bila tidak, atasan guru akan kehilangan fokus pada perilaku bawahannya. Yaitu, komitmen, kebersamaan, dan loyalitas. Kolaborasi, kata Pak Agus Sampurno.

Memang, tidak jarang seorang atasan guru (kepala sekolah) dikecewakan oleh para guru bawahannya, disebabkan oleh kualitas kinerja mereka tidak meningkat secara signifikan, meskipun mereka telah menyelesaikan serangkaian program pelatihan dan pendidikan.

Berbagai kajian berhasil menunjukkan, bahwa hal tersebut disebabkan oleh komitmen guru yang tidak berubah. Padahal komitmen kerja itulah yang akan mengaktualisasikan seluruh kompetensi guru menjadi kinerja.

Lunturnya komitmen guru bawahan itu bisa jadi juga disebabkan mereka merasa belum mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti, dipercaya atasan, mendapat penghargaan dari hasil kerja, merasa mendapatkan keadilan, dan mendapatkan tantangan untuk menunjukkan kemampuannya.

Atau, dengan berbagai alasan yang masuk akal maupun tidak, atasan guru malah sering meminta banyak pengorbanan dari pihak guru bawahannya. Atasan guru berusaha mengurangi, bahkan menghapuskan insentif yang sudah biasa diterima bawahannya. Entah itu berupa uang transpor untuk rapat-rapat, upacara-upacara, dll. Ketidak-seimbangan inilah yang akan menghambat pengembangan sekolah, jika tidak ada solusi yang bisa dipahami oleh atasan guru.

Ampun kepala sekolah, makanya Anda jangan terlalu membanggakan diri telah berhasil meningkatkan diri, dengan lulus S2, S3, atau sertifikasi mendahului guru-guru bawahan Anda. Sebab komitmen, kebersamaan, dan loyalitas tidak berasal dari bagaimana cara Anda menjadi pimpinan, tetapi selalu tumbuh dari bagimana cara Anda memimpin.

08 Desember 2009

Guru Swasta Mana Bisa Sangat Berharap pada Sertifikasi Guru 2010

Ada banyak birokrat kantoran dalam dunia pendidikan mengatakan bagaikan seorang hakim yang berhak memutuskan, bahwa Guru Swasta tidak penting, hingga bertahun-tahun membiarkan mereka dimarjinalkan, sampai lebih-kurang 2 tahun menjelang kiamat (?!) sekarang ini.

Tipe pejabat ini tergolong manusia sombong dan menganggap Guru Non Swastalah yang paling berkualitas. Guru Swasta itu tidak penting, dianggap semuanya penuh dengan kekurangan, dan tidak profesional.

Saya kutip dari beberapa pakar, kalau ingin menghakimi orang lain, diri sendiri harus cerdas secara subjektif. Tapi kecerdasan subjektif terbatas, untuk itu ia harus bisa terbuka, toleran, mau mendengar kebenaran-kebenaran yang lain.

Hakim yang bodoh adalah hakim yang berkaca mata kuda yang hanya melihat satu arah dan tidak mau melihat dan mendengar arah kiri, kanan, dan belakang. Sejarah membuktikan, penghakiman seperti ini telah menghukum mati ilmuwan-ilmuwan potensial seperti Socrates, Galileo, Bruno, dan ribuan lainnya.

Dunia pendidikan kita, dirugikan dengan dihakiminya guru-guru swasta itu, meskipun mereka memang tidak dihukum mati, tapi tidak diberdayakan optimal, karena senantiasa dimarjinalkan.

Para penguasa dunia pendidikan, birokrat kantoran, tidak peka rasa keadilannya. Kepada Guru Swasta tidak diberi kesempatan sama dengan Guru Non Swasta. Ini berjalan bertahun-tahun. Coba hitung, berapa minimnya Guru Swasta yang berkesempatan dikirim ke ToT, diklat-diklat, baik tingkat nasional maupun internasional dibandingkan dengan Guru Non Swasta. Jadi, wajar kalau mereka kalah unggul ihwal SDM.

Di sisi lain, dunia pendidikan kita seringkali tidak mau menghargai potensi Guru Swasta, padahal yang pintar juga tidak sedikit. Tetapi kepintaran dan kehebatan mereka tidak memperoleh harga dan penghargaan yang memadai. Karena, negara dan masyarakat terbelenggu dalam struktur berpikir yang tidak menghargai apa yang bukan berasal dari pemerintah.

Apakah sertifikasi guru dalam jabatan akan mengakhiri fenomena ini?

Ampun pemerintah, lihat saja cara kalian menentukan jumlah peserta sertifikasi guru dalam jabatan. Apakah alasannya kepesertaan Guru Swasta didiskriminasi? Tahun 2006 kosong, tahun 2007, 2008, dan 2009 jatah mereka maksimal hanya 25%.

Kenapa pada tahun 2010 tidak mungkin diubah menjadi 75% untuk guru swasta? Kalau ingin tahu sebabnya, tolong dibaca lagi dari awal.