25 Oktober 2008

GURU SWASTA KALI

Kenyataannya pemerintah begitu perhatian dan memberikan kasih sayang berlebihan kepada guru berstatus honorer menurut PP 48/2005, sehingga guru swasta (guru non PNS di sekolah swasta) jelas-jelas diperlakukan tidak adil.
Padahal dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas berkehendak mengatur dan mengangkat nasib semua insan pendidikan yang disebut guru (saja), tidak dikaitkan statusnya, PNS atau non PNS. Mestinya seorang pejabat tinggi sebelum memberikan pernyataan atau janji kepada suatu kelompok guru, tidak mencitrakan diri sebagai birokrat yang berkedudukan terlalu tinggi sehingga kekuasaannya digunakan hanya untuk membahagiakan duaratus ribu orang saja dari sekian juta guru swasta, yang semuanya juga membutuhkan perbaikan dan peningkatan kesejahteraan.
Demikianlah yang terjadi apabila persoalan guru tidak ditangani oleh pejabat publik yang berjiwa pejuang dan selalu adil dalam upaya membahagiakan rakyatnya. Namun, sampai detik ini walau guru swasta mengadukan ketidak-adilan ini, oleh pemerintah tidak ditanggapi.
Untuk itu, guru swasta harus tetap bertekad mengusahakan kekuatan tuntutan kepada pemerintah atau pemerintah daerah, agar dipenuhinya standar pelayanan minimal dalam hal kesejahteraannya. Terus berjuang sehingga memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, antara lain jaminan kesehatan dan jaminan hari tua. Setidak-tidaknya perlu mendesak pemerintah kabupaten/kota supaya selekasnya memberikan insentif setiap bulan. Sehingga dengan demikian diharapkan guru swasta pun dapat menerima penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum yang mencerminkan martabat guru sebagai pendidik yang professional.
Tetapi bagaimana dengan tindakan dari yayasan atau kepala sekolah? Mereka yang sering menuntut kinerja bagus para guru swasta, tanpa diimbangi dengan membela dan memperjuangkan kenaikan kesejahteraannya. Terhadap kasus yang demikian itu, guru swasta umumnya hanya pasrah. Namun dibalik kepasrahan itu, masih terdapat ganjalan berupa sebuah bom kekuatan moral yang sewaktu-waktu dapat diledakkan bersama-sama. Patut diprihatinkan, bahwa selama ini guru swasta belum mendapatkan perlindungan hukum dalam hubungan ketenaga-kerjaan, terutama ihwal kontrak perjanjian kerja dengan pihak sekolah, sehingga pemutusan hubungan kerja diberlakukan semena-mena. Mengingat bahwa guru adalah profesi, tidak dapat disejajarkan dengan pengertian buruh atau pekerja, maka kedudukan kepala sekolah dan guru tidak patut diperlakukan selayaknya hubungan antara majikan dengan buruhnya. Mestinya kepala sekolah adalah pemimpin para guru, bukan penguasa para bawahan.
Di sisi lain, menghadapi tantangan di era global, guru swasta seyogyanya dipikirkan agar memperoleh kesempatan sekaligus tambahan biaya atau beasiswa dari pemerintah agar mereka dapat mengikuti pendidikan setingkat pasca sarjana. Jika ditelusuri sebabnya, peningkatan profesionalisme guru swasta lagi-lagi justeru kerapkali terkendala oleh diskriminasi pemerintah dalam memberikan peluang untuk mengikuti penataran, training tingkat instruktur, atau sertifikasi, sehingga wajarlah bila mereka selalu mengalami keterbelakangan dan ketertinggalan dalam inovasi dan pengembangan dunia pendidikan.