13 Januari 2010

Kok Mogok, 'Ngajar 'Napa?

Kok Mogok, ’Ngajar ’Napa?

Oleh: Eddy Soejanto*)

Sejak KBK hingga KTSP, dari perspektif pengetahuan dan pemahaman konsep, rendahnya kualitas pendidikan terkadang cukup ditengarai dengan rendahnya pencapaian kriteria ketuntasan minimal oleh siswa.

Ini dibuktikan dengan betapa terpontang-pantingnya guru-guru mata pelajaran UN 2010, sampai-sampai membuat nuansa di sekolah tak ubahnya bimbingan belajar. Merekapun merasa wajib minta tambah jam tatap muka, dengan mengikhlaskan waktu istirahat siang dan sore hari, bertahan tetap berada di sekolah mengisi kegiatan seputar nge-drill soal-soal UN. Tentunya dengan imbalan yang memadai atau tidak, itu masalah lain.

Inilah barangkali, kenapa rendahnya kualitas pendidikan kerapkali ditudingkan ke arah guru sebagai biangnya, meskipun tidak tepat. Sebab, kualitas kinerja guru berkaitan erat dengan pelbagai kondisi guru, puncak kerucutnya ada di status guru profesional yang mampu menjalankan proses pembelajaran i2m3.

Tapi guru bisa mengatasi masalah itu, asal Pemerintah dan Pemerintah Daerah terlebih dulu mengatasi kesenjangan kesejahteraan guru dengan profesi lainnya, atau sesama guru (antara PNS dan non PNS) melalui upaya merealisasikan peningkatan penghasilan guru secara memadai sehingga tetap berada di atas batas kebutuhan hidup minimum.

Sampai saat ini, upaya-upaya itu masih berkutat di penerbitan peraturan perundang-undangan, yang semuanya baru sempurna bila jelas-jelas mengarahkan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyejahterakan kehidupan guru. Namun semua guru tahu hal itu tidak serta merta mengubah nasib mereka menjadi lebih baik.

Namun, bagi guru non PNS malah samasekali tidak jelas apa yang mesti diharapkan dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang lebih condong mengatur nasib guru-guru PNS tersebut. Sehingga janji peningkatan kesejahteraan melalui proses sertifikasi guru, misalnya, belum membuat mereka langsung kelabakan untuk makin termotivasi dan berambisi mempersiapkan diri menjadi semakin mendekati status guru profesional.

Ampun pemerintah, apapun yang kalian lakukan nyatanya mereka kok mogok, ’ngajar ’napa? Mereka yang mengajar rajin saja belum tentu bisa membuat pintar muridnya.


Apakah inti persoalannya benar-benar hanya terletak pada besaran insentif yang mereka terima setiap bulan dari pemerintah daerah, minta Rp150 ribu agar dinaikkan menjadi Rp 250 ribu, yang menyebabkan guru swasta di Tegal itu mogok mengajar?

*)Eddy Soejanto, pengamat pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar