08 Juni 2009

Masih Relevankah Menyoal Status Guru Swasta

Masih Relevankah Menyoal Status Guru Swasta?

Oleh: Eddy Soejanto*)

Apakah Anda berprofesi sebagai guru swasta? Setidak-tidaknya Anda akan bisa merasakan bagaimana perlakuan tidak adil dan dianaktirikan. Tapi benarkah itu terjadi akibat penciptaan banyak kutub antara posisi guru swasta, guru honorer, dan guru PNS? Atau, karena belum seriusnya pemerintah dalam menjaga dan melindungi profesi guru? Atau, karena ketakberdayaan yayasan dalam mengupayakan tingkat kesejahteraan yang memadai tanpa membebani masyarakat dengan cara menaikkan biaya pendidikan?

Doni Koesoema (2008) berpendapat, sebenarnya nasib guru lebih banyak ditentukan dua kekuatan, yaitu kekuatan negara dan kekuatan masyarakat.

Kekuatan negara terhadap guru bersifat memaksa dan mengatur. Ini bisa dibuktikan dengan terbitnya undang-undang, peraturan pemerintah, dan belasan Permendiknas serta ratusan butir rambu-rambu yang dengan congkaknya memperlihatkan, bahwa negara berkepentingan atas dipenuhinya kualifikasi akademik dan kompetensi bagi siapapun yang layak berdiri di ruang-ruang kelas. Berhadapan dengan aturan negara yang memaksa ini, para guru tidak dapat berbuat apa-apa selain tunduk menyesuaikan diri. Sebab, tidak ada pilihan lain lagi agar profesinya sebagai guru tetap berfungsi efektif dalam lembaga pendidikan.

Di sisi lain, kekuatan masyarakat berbentuk tekanan kultural yang menciptakan gambaran sosok seorang guru. Intinya, setiap guru harus memiliki pola perilaku yang oleh masyarakat boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam maupun di luar ruang-ruang kelas. Mulai dari bagaimana seharusnya cara guru bertuturkata, cara berpakaian, memasuki lingkungan pergaulannya dll. Menguak takdir atas kekuatan kehendak masyarakat ini akan menyebabkan individu guru terhempas kandas kehilangan integritas.

Ketika menghadapi kedua kekuatan tersebut, jika guru PNS saja tidak memiliki kekuatan penawaran, apalagi guru swasta. Mereka senantiasa tercegah memiliki alternatif selain bertekuklutut pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan. Berani membuat kasus sekecil apapun, asalkan dinilai melanggar norma sosial dan keluar dari kode etik, maka kepada oknum ini akan dibentuk stigma sebagai guru dengan pribadi yang kehilangan kualitas moral. Karena itu, di satu sisi sanksi sosial baik dari masyarakat maupun negara dapat dipandang sebagai hukuman, tetapi sisi lain juga bersifat memperbaiki. Ini yang mampu menjaga status dan martabat profesi guru agar tetap berharga di mata masyarakat dan negara.

Implikasinya, tidak setiap orang bisa mengklaim dirinya sebagai guru, jika negara dan masyarakat tidak memaklumkan keberadaannya sebagai guru. Hanya saja, situasi sosial, politik, dan ekonomi masih membuat status guru swasta termarjinalkan. Tuntutan pemerintah atas dipenuhinya kualifikasi akademik dan kompetensi tidak sertamerta dibarengi kesediaan pemerintah melindungi profesi guru swasta. Bahkan masih terus terdengar rintihan guru swasta yang penghasilannya terpuruk di bawah upah minimum regional. Para petinggi yayasan pun tidak dapat berbuat banyak karena alasan tak adanya dana.

Dengan demikian, pemerintah memiliki tugas mulia dalam menyejahterakan nasib guru swasta. Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan politik yang kuat. Ketidakmampuan yayasan dalam menyejahterakan guru swasta harus menjadi bagian dari perhatian utama pemerintah menangani pendidikan. Meskipun partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dunia pendidikan patut didukung, tetapi pemerintah wajib menjamin bahwa mereka harus mampu menyelenggarakan sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan, dan mengembangkannya ke arah bertaraf internasional. Jika banyak yayasan pendidikan tidak mampu memenuhi standar nasional pendidikan, maka dampaknya akan merugikan banyak pihak. Sebab, mereka akan sulit menghargai kinerja guru swasta, dan tidak mampu memberi pelayanan pendidikan yang terbaik bagi siswa oleh karena keterbatasan sarana, fasilitas, dan mutu guru swasta.

Untuk itu, pemerintah dan masyarakat harus menjaga, melindungi, dan menghormati profesi guru swasta sebagai prioritas. Secara khusus, pemerintah harus memberi jaminan finansial setara dengan upah minimum regional kepada guru swasta agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat sebagaimana telah dinikmati oleh guru PNS. Jaminan seperti ini hanya bisa muncul jika ada perlindungan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang benar-benar adil dan tidak memihak.

Apakah tidak mungkin kinerja menjadi satu-satunya cara untuk mengukur mutu seorang guru dan menjadi acuan untuk menghargai dan memperbaiki kesejahteraan mereka? Masih relevankah kesejahteraan itu terkait dengan status mereka sebagai guru swasta, guru PNS, atau guru honorer?

Jika harapan ini bisa direalisasikan, maka setiap guru swasta pasti hanya berpikir dan berupaya bagaimana menjaga kualitas dan mengembangkan keprofesiannya secara profesional. Guru swasta, atau guru honorer tidak lagi menginginkan sulih status sebagai pegawai negeri sipil menjadi satu-satunya cara mencapai kesejahteraan.

*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar