03 Juni 2009

Menyoal Lagi Ihwal Ujian Nasional 2009 Dipicu Pengumuman UN 2009 Kasus Siswa Tidak Lulus 100% di 33 SMA Se-Indonesia

Masih ingatkah Anda, beberapa tahun silam pernah terjadi perdebatan sengit menyoal ujian nasional, antara DPR yang menghendaki dihapuskannya UN melawan pemerintah (Depdiknas) yang mempertahankan UN. Ternyata sampai detik ini kasus itu tidak menjadikannya landasan penjaminan mutu atas peningkatan kualitas pendidikan ke arah pencapaian standar nasional. Karena seperti yang selalu diunjukkan oleh pemerintah, pelaksanaan UN tidak terlepas dari tujuan menstandarisasikan kualitas lulusan yang diharapkan secara signifikan dapat bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan. Di lain pihak, kerisauan berbagai elemen masyarakat terhadap UN diaktualisasikan oleh DPR dalam wujud ketidak-setujuan mereka, apabila peranan nilai-nilai hasil UN adalah sebagai nilai-nilai yang paling menentukan dalam mempertimbangkan hak para siswa untuk lulus atau menamatkan sekolahnya.

Berdasarkan Prosedur Operasi Standar (POS), Pemerintah merencanakan hasil UN 2009 akan diumumkan sekitar pertengahan Juni 2009. Tetapi tanggal 30 Mei 2009 lalu tiba-tiba menyeruak kabar buruk ihwal peserta UN 2009 dari SMAN 2 Ngawi dan SMAN Wungu Madiun, beserta 31 SMA lain di seluruh Indonesia dinyatakan tidak lulus 100%.
Menurut Ketua Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo (http://detiknews.com, Selasa 2/6/2009) ke-33 SMA se-Indonesia yang siswanya 100% tidak lulus UN itu, karena kebocaran soal, sehingga diwajibkan mengikuti ujian ulang. Ujian ulang akan dilakukan pada tanggal 8-12 Juni 2009.

Sementara itu, meskipun telah terungkap bahwa kejadiannya disebabkan oleh kecurangan pihak penyelenggara, bagi para pengamat yang paling menjengkelkan adalah sanksi terhadap 33 SMA tersebut, yang ternyata hanya berupa ujian ulang. Kalau mau sesuai aturan, kenapa BSNP dan pemerintah tidak menetapkan saja pelaksanakan UN 2009 sebanyak dua kali, sebagai implementasi dari Pasal 66 ayat (3) dalam PP 19/2005. Sehingga, siswa dari 33 SMA tersebut tetap dinyatakan tidak lulus, tetapi diberi kesempatan mengikuti UN 2009 yang kedua bersama-sama dengan siswa-siswa lain yang tidak lulus di luar 33 SMA tersebut. Ini pasti akan dirasakan lebih adil bagi banyak pihak, ketimbang mengusulkan ujian Paket C bagi mereka.

Memang bila dinilai sejak awal, tidak sedikit pakar pendidikan yang berpendapat, bahwa penyelenggaraan UN penuh kontroversi. Sebab, di satu sisi pelaksanaan UN melanggar pasal 58 dalam UU No. 20 tentang Sisdiknas. Menurut aturan ini, penilaian peserta didik hanya dilakukan oleh pendidik, sedangkan evaluasi terhadap peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri, yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai BSNP. Tetapi, implementasi undang-undang itu berhasil direkayasa dengan berdasar kepada Pasal 63 ayat (1) dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sehingga penilaian pendidikan berubah menjadi dilakukan oleh tiga elemen, yaitu penilaian hasil belajar oleh pendidik, oleh satuan pendidikan, dan oleh Pemerintah.

Menurut Heri Akhmadi, Wakil Ketua komisi X DPR, kebijakan UN seperti ini jelas mencerminkan sikap pemerintah yang sekadar mau hasil, padahal banyak hal yang masih dipertanyakan terkait dengan UN. Mengapa yang dikejar standar kelulusannya bukan mutu pendidikannya. Sedang HAR Tilaar (2005) pernah secara tegas menolak pendapat pemerintah (Wapres JK), bahwa UN akan dapat memicu peserta didik berusaha lebih keras dan mengenyahkan budaya lembek. Beliau menegaskan ini tidak benar. Sebab, watak lebih terkait soal moral dan nilai-nilai yang dilaksanakan dalam kehidupan, bukan sebatas lulus mata pelajaran yang di-UN-kan. Jadi, UN secara sistematis malah menciptakan penghambat bagi anak didik untuk meneruskan ke jenjang berikutnya, karena keharusan memenuhi nilai UN tertentu yang dipakai sebagai kriteria kelulusan.

Belajar dari kasus 33 SMA tersebut, maka patut direnungkan lagi, apakah dunia pendidikan sudah tidak mampu menyelenggarakan UN yang lebih mencerminkan keluhuran moral dalam menghadapi dan mengatasi permasalahannya? Pasti dibutuhkan waktu lama lagi untuk bisa mewujudkan kembali perilaku jujur dan sewajarnya ketika melaksanakan UN; di mana para siswa memiliki kesiapan mental untuk tidak lulus, dan para orangtua berani menerima kegagalan anaknya, serta ketegaran sekolah untuk terus mengedepankan integritas tinggi, meskipun gagal meluluskan siswanya seratus persen.

Oleh karena itu, bagaimana pun berat dan miringnya masalah-masalah seperti diuraikan di atas, guru-guru harus tetap membawanya dalam arus pembelajaran yang positif. Kita sadar, ada sesuatu yang terlanjur timpang di dunia pendidikan, sesuatu yang senjang; di antara kekhawatiran gagal dengan konsistensi mempertahankan integritas moral selama melaksanaan pembelajaran, menyelenggarakan ujian, dan kegiatan lain yang tak hanya dibatasi oleh ruang-ruang kelas. Namun, selama akar permasalahannya masih bersifat manusiawi, semuanya harus diatasi, diselesaikan, dibereskan, dan atau dipecahkan melalui pemikiran, perenungan, dan pemahaman yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar