09 Juni 2009

Menyoal Pendidikan Nasional Tanpa Guru Swasta, Nggak Bisa Kan?

Oleh: Eddy Soejanto*)

Pendidikan Nasional tanpa menyertakan guru swasta, nggak bisa kan? Tetapi ketika banyak guru swasta mengeluhkan kekurangannya, ketimbang memahami hal itu sebagai suatu keniscayaan, malah tidak sedikit atasan guru swasta menengarainya sebagai sifat cengeng dan cenderung materialistis. Namun, jika ini dipandang menjadi luka yang sulit disembuhkan bagi sekolah dan yayasannya, maka bila hendak segera disembuhkan, para pihak mesti memahami bagian dari problematika keprofesian guru swasta yang memerlukan pemecahan tidak secara seragam, baik terhadap individu maupun kolektif.

Untuk itu, setiap mengambil kebijakan, para atasan guru swasta hendaknya memasilitasi mereka dengan sempurna. Sebab, kualifikasi akademik, kompetensi, dan kebutuhan guru swasta yang sangat beragam, jika diperberat lagi dengan minimalnya dukungan, dorongan, dan fasilitas yang dimiliki, mereka akan menjadi pelambat laju ketercapaian visi dan misi sekolah atau yayasan yang menaunginya. Memang, selalu tidak mudah menghindarkan datangnya kesulitan demi kesulitan yang langsung menghadang guru swasta ketika diharuskan mengikuti irama gerak perubahan yang digulirkan oleh pimpinan sekolah, atau yayasannya. Dan diakui atau tidak, ini terjadi sejak kurikulum seringkali berganti, sampai saatnya KBK berubah wajah menjadi KTSP, kemudian makin berat ketika sekolah lepas landas dari SSN menuju SBI.
Dari pengalaman itu, setiap guru swasta diajak mengeksplorasi pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dalam menerjuni perubahan demi perubahan, amat jarang mereka dipertemukan langsung dengan ahlinya. Kerapkali kebutuhan mereka akan berbagai kompetensi tersebut dicukupi melalui serangkaian kegiatan sosialisasi dari tutor sebaya, yang tidak lain adalah guru swasta rekan kerjanya sehari-hari. Dan diakui oleh para tutor itu, bukan dengan maksud basa-basi, bahwa dibandingkan dengan kebanyakan teman-teman mereka, kompetensi yang mereka peroleh hanya berbeda soal waktu. Mereka merasa punya kelebihan lebih dulu tahu, bukan lebih dulu ahli. Ditambah lagi, dilibatkannya mereka ke dalam ToT terkadang bukan berdasarkan terpenuhinya kriteria keahlian, tetapi diuntungkan oleh posisi atau jabatan strategis yang sedang disandangnya di sekolah atau yayasannya.

Fenomena tersebut diharapkan akan menjadi pembelajaran, selain kepada pihak pimpinan sekolah atau yayasan juga Pemerintah dan Pemerintah Daerah, agar selalu memberikan pertimbangan yang berkeadilan dalam menetapkan kuota guru swasta peserta bimbingan teknis di kegiatan apapun, lebih-lebih bila tutornya ahli dan melibatkan para pakar pendidikan. Demikian pula, mereka dituntut tidak kikir dalam memberikan fasilitas yang memadai bagi terwujudnya guru swasta menjadi pendidik profesional, selaras dengan tuntutan Standar Nasional Pendidikan. Semuanya akan bermuara pada perbaikan dan peningkatan kesejahteraan guru swasta. Sehingga apabila diungkapkan, kesejahteraan guru swasta yang memadai memiliki relevansi sangat signifikan terhadap kualitas profesinya, tidak lantas diejek sebagai materialistis dan cengeng.

Jika akhir-akhir ini tidak henti-hentinya guru swasta diminta segera mengubah realita keterpurukan dan bangkit membuat perubahan, maka kendalanya tetap pada peluang mereka yang kerap termarjinalkan. Untuk itu, guna mencapai kualitas keprofesian guru swasta yang signifikan, kepada mereka perlu diberikan banyak pendidikan dan pelatihan. Namun, dengan pendidikan dan pelatihan yang diterima tersebut, mereka tidak boleh berhenti pada tataran menjadi pandai, tetapi harus sampai pada tataran mampu menunjukkan kinerja profesionalnya, yaitu membimbing siswa dalam belajar. Jadi, kualitas keprofesian yang dijadikan ukuran bukan sekadar pandai atau tidak pandainya guru swasta, tetapi seberapa berhasil guru swasta membimbing siswa dalam belajar, atau seberapa besar peningkatan hasil belajar siswanya.


*)Eddy Soejanto adalah pemerhati pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar